Publik memandang kasus Joko S Tjandra dan Pinangki merupakan momentum membersihkan para mafia peradilan. Saat harapan publik belum kesampaian, publik hanya bisa mencatatnya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sikap kejaksaan yang tidak mengajukan kasasi dalam kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari sudah diperkirakan. Vonis hakim sejalan dengan tuntutan jaksa.
Dalam tuntutan di pengadilan pertama, jaksa penuntut umum menuntut Pinangki dengan tuntutan empat tahun penjara. Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis lebih berat, yakni sepuluh tahun penjara. Majelis hakim tingkat pertama beralasan, sikap Pinangki berbelit-belit dan tetap menutup misteri siapa king maker dalam kasus pembebasan buron kasus korupsi Joko S Tjandra. Dalam persidangan terungkap bahwa Pinangki adalah pemain perkara dan melibatkan banyak pihak. Namun, majelis hakim pertama tak mampu mengungkap lebih permainan perkara itu.
Di pengadilan tinggi, majelis hakim banding yang terdiri dari Muhammad Yusuf (ketua), Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik mendiskon vonis hukuman Pinangki menjadi empat tahun untuk penerimaan suap sekitar Rp 5 miliar. Alasannya, Pinangki telah diberhentikan sebagai jaksa dan Pinangki adalah seorang perempuan. Rasa keadilan publik memang terkoyak. Bagaimana praktik transaksional penanganan perkara yang melibatkan penegak hukum—jaksa, polisi, dan advokat—mendapat hukuman yang di mata publik ringan.
Perilaku Jaksa Pinangki memang istimewa. Sebagai jaksa biasa, dia bisa leluasa menemui buron kasus korupsi Joko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Wajar publik mempertanyakan mengapa Pinangki yang bukan jaksa eksekutor bisa bertemu dengan buron kasus korupsi. Dalam dokumen skenario pembebasan Joko Tjandra disebut-sebut nama penegak hukum.
Melihat konteks sosial politik perkara dan jaringan perkara, rasanya wajar-wajar saja kalau sejumlah aktivis berharap jaksa melakukan kasasi untuk memberi ruang bagi pengadilan untuk mengungkap aktor-aktor pemain perkara yang belum terungkap. Namun, ketika kejaksaan memutuskan menerima putusan dengan alasan tuntutan jaksa telah dipenuhi majelis hakim, itu juga sepenuhnya kewenangan jaksa penuntut umum, yang sebenarnya bertindak mewakili kepentingan publik. Publik hanya bisa menonton bagaimana prinsip kesamaan di muka hukum ditegakkan dan keadilan dihadirkan.
Dengan putusan jaksa yang tidak mengajukan kasasi, putusan terhadap Jaksa Pinangki telah berkekuatan hukum tetap. Kesempatan untuk membuka siapa king maker menjadi tertutup. Publik memandang kasus Joko Tjandra dan Pinangki merupakan momentum membersihkan para mafia peradilan. Bahwa harapan publik belum kesampaian, publik hanya bisa mencatatnya.
Secara normatif, tuntutan terhadap penegak hukum yang melanggar hukum lebih berat daripada orang biasa. Bahkan, terhadap politisi, kadang ada pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Bahwa dalam kasus Pinangki terasa ada perlakuan berbeda, biarlah sejarah mencatat siapa-siapa mereka para pengadil dan penuntut.