Pandemi Bencana Nasional
Antrean sampai ke koridor rumah sakit, bahkan ada yang dirawat di ambulans dengan infus menempel di tangan. Sungguh pemandangan yang memilukan. Lonjakan ini terjadi karena satu saja: kebodohan kolektif bangsa.
Baru saja kita menertawakan India yang angka kasus Covid-19 melonjak luar biasa akibat tidak disiplin saat ada perayaan keagamaan. Ternyata, hari-hari ini kita juga tidak dapat menyembunyikan wajah buram dari dunia. Terjadi lonjakan pasien Covid-19 di rumah sakit, hingga harus mengantre masuk IGD.
Antrean ini sampai ke koridor rumah sakit, bahkan ada pasien yang dirawat di ambulans dan mobil bak terbuka, dengan infus menempel di tangan. Benar-benar suatu pemandangan yang memilukan. Lonjakan ini terjadi karena satu hal saja: kebodohan kolektif bangsa.
Di banyak tempat terjadi penolakan vaksin, sampai mengusir tenaga medis pelaksana vaksin. Sebagian masyarakat masih saja percaya bahwa Covid-19 tidak ada.
Data menunjukkan kondisi perekonomian negara telah memburuk dengan peningkatan utang pemerintah lebih tinggi dari pertambahan produk domestik bruto. Anggaran penanganan pandemi Covid-19 telah melebihi Rp 1.000 triliun. Apakah kita masih akan membiarkan pembengkakan utang ini terus terjadi?
Saya kira, bangsa ini perlu melakukan perubahan mendasar agar bisa menggunakan akal sehat serta nalar sederhana dalam kerangka berpikir sebab akibat. Kita sadar bahwa mayoritas masyarakat belum menikmati pendidikan yang memadai sehingga sangat dibutuhkan upaya terus-menerus berikut ini.
a. Mengimbau para tokoh masyarakat, terutama di perdesaan, untuk terus mengajak berdisiplin, mengingat budaya bangsa yang paternalistik. Rakyat sangat mendengar para tokoh, terutama tokoh agama dan adat.
b. Mengingatkan kepada para tokoh politik untuk tidak mengambil keuntungan dari kekurangan nalar dan akal sehat masyarakat, tetapi sebaliknya harus menunjukkan sikap kesatria menyelamatkan bangsa.
c. Mengajak seluruh masyarakat membantu pemerintah mempercepat munculnya kekebalan komunitas dengan kesediaan divaksinasi. Vaksinasi adalah upaya paling efektif saat ini untuk menekan penyebaran virus korona. Mengingatkan masyarakat yang berpendidikan memadai dan memahami kesehatan agar berpartisipasi aktif.
Alangkah naifnya apabila masih menganggap pandemi ini bukan bencana nasional.
Marlas Harianja
Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur
Membuat Sertifikat
Pada 12 Juli 2017 kami mengajukan berkas permohonan pembuatan sertifikat dari girik ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok. Berkas Nomor 40962/2017 atas tanah di Kelurahan Sawangan. Namun, sampai saat ini belum selesai.
Pada 2017-2018, program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) belum ada.
Pengukuran tanah dilakukan tahun 2017 dan 2018 oleh Bapak B. Pada 2019 kami menanyakan perkembangan pengurusan tanah kami. Karena Bapak B sakit, BPN mengukur ulang tanah. Setelah diukur dua kali pada 2019 dan 2020 oleh Bapak D, ada perbedaan luasan dengan hasil ukur PTSL.
Pejabat pengukur menyarankan kami mencabut berkas permohonan di PTSL. Pertanyaan kami, kenapa proses sertifikasi tidak dapat dilanjutkan sebelum kami mencabut berkas PTSL, padahal tidak kami daftarkan?
Kami mendaftar di BPN tahun 2017 agar sertifikat bisa segera diterbitkan, sementara PTSL baru dilaksanakan pada 2019 di Kelurahan Sawangan.
Kapan sertifikat kami jadi?
Dewi Ardhiani
Puri Depok Mas, Pancoran Mas, Depok 16519
Geotermal
Menindaklanjuti berita foto di halaman pertama harian Kompas (Rabu, 19/5/2021) mengenai kereta api cepat Jakarta-Bandung, alangkah baiknya jika ada usulan kepada Presiden Joko Widodo untuk memanfaatkan energi geotermal.
Menteri ESDM, PLN, dan Pertamina bisa merencanakan anggaran pembangunan SUTET yang menggabungkan pembangkit listrik geotermal Gunung Salak, Kamojang, dan Derajat, beserta jaringan distribusi sepanjang jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Indonesia tidak hanya akan memiliki kereta cepat, tetapi kereta cepat yang akan digerakkan dengan energi listrik bersih lingkungan. Ini dalam upaya mendukung secara nyata sustainable climate.
Potensi energi geotermal di Jawa Barat adalah karunia dari Allah SWT, sepantasnya bangsa Indonesia mensyukurinya.
Rumboko Tasan
Jl KHM Usman, Kukusan, Beji, Depok
Bangun Kesadaran
Adik kandung saya seorang dokter. Aktif di beberapa rumah sakit di pinggir kota Jakarta.
Kini ia dirawat di salah satu rumah sakit tempat ia bekerja karena Covid-19. Kondisi membaik, tetapi virus masih bertahan. Entah sampai kapan.
Selama ini, ia memang terlibat perawatan para pasien Covid-19 karena keahliannya. Tak ada yang ia sesali, kecuali untuk sementara tidak bisa membantu pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan pasien Covid-19.
Kami, saudara-saudaranya, tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa, mengharap kemurahan hati Yang Maha Kuasa dan memberi dukungan semangat agar ia cepat sembuh dan kembali mengabdi pada profesi yang dicintainya. Itulah janjinya kepada Tuhan karena diberkahi kesempatan beberapa kali menjadi ”dokter haji”.
Ia tahu risiko petugas medis yang terlibat dalam perawatan penderita Covid-19 dan sudah berusaha keras menjaga dirinya agar tidak tertular. Namun, ternyata ia tertular pasiennya.
Ia memang harus menghadapi banyak pasien yang tidak berterus terang tentang gejala dan riwayat penyakitnya. Enggan diperiksa di laboratorium.
Penyebabnya tentu beraneka. Takut diketahui, diolok-olok, dan distigmatisasi. Malu ketahuan terkena Covid-19 karena sempat ”sesumbar” tidak bakal terkena. Malu karena abai menerapkan protokol kesehatan, malu karena tak ingin hubungan dengan sosok tertentu terbongkar, dan sebagainya. Penjelasan pasien sebatas ”kena flu, demam, batuk-batuk”.
Selain menyulitkan pemeriksaan dan penetapan penanganan medis, keterangan yang diajukan juga tidak membantu upaya pelacakan kemungkinan penyebaran. Sebenarnya ini arogansi, ketidakpedulian, atau kebodohan (ignorance)?
Pernahkah kita berpikir jauh tentang dampak kehadiran pandemi ini? Dampak yang paling jelas tentu saja kematian, selain penderitaan fisik, mental, sosial, ekonomi, dan kultural. Informasi ini nyata di mana saja. Bukan hoaks! Bukan juga akal-akalan politik! Siapa saja bisa mengalaminya.
Sebagian sembuh, tetapi sebagian lagi berpulang kepada Tuhan. Pernahkah terpikir apa yang bisa terjadi jika semakin banyak dokter dan petugas medis lain, serta para petugas pendukungnya, berkurang jumlahnya menolong kita-kita? Lalu, siapa yang kelak akan mengurus dan merawat diri kita, juga keluarga kita, jika tidak ada lagi yang bisa memberi bantuan yang diperlukan?
Bukankah kita harus saling menolong dan berkolaborasi dalam menjalani hidup? Ayo, mari kita patuhi protokol kesehatan demi kepentingan diri, demi mereka yang kita sayangi, dan demi kebersamaan.
Zainoel B Biran
Pengamat Sosial, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Tagihan Aneh
Beberapa hari lalu, saya menerima surat tagihan untuk membayar ”tagihan belum terbayar” dari Palyja, perusahaan air bersih.
Betapa kagetnya saya karena informasi tagihan yang terdiri atas empat halaman fotokopi tersebut berisi tunggakan bertahun-tahun.
Tahun 1999 ada 6 bulan tunggakan, 2000 (12), 2001 (1), 2003 (2), 2004 (1), 2006 (1), 2008 (1), 2013 (1), 2017 (9), 2018 (12), 2019 (12), 2020 (12), 2021 (5). Total ada 75 bulan tagihan.
Mengapa tidak dari kemarin-kemarin Palyja langsung menagih tunggakan saya? Mengapa dibiarkan menumpuk sampai 22 tahun?
Saya membayar sesuai tagihan, kadang-kadang hanya beberapa bulan dalam satu tahun, ada juga yang saya ”rajin” membayar. Saya kaget karena ada ancaman yang ditulis tangan, tanpa nama dan tanda tangan.
Ancaman berbunyi, ”Hari ini tanggal 7 Juni 2021 harus membayar. Apabila tidak ada pembayaran, PAM akan dicabut total”.
Sebagai pensiunan, saya kelimpungan harus membayar total Rp 2.394.610. Dendanya bahkan lebih besar dari tunggakannya.
Drs Sri Rachmadi WS
KS Tubun IIIB, RT 005 RW 007, Slipi, Jakarta Barat
Koran Cetak
Perubahan pola membaca informasi dari media cetak ke daring membuat koran cetak menghadapi disrupsi. Saya tahu situasinya tidak mudah, tetapi percaya bahwa Kompas akan selalu berupaya dengan berbagai cara untuk bertahan.
Sebagai pembaca setia Kompas sejak kuliah, 2002, saya termasuk rajin mengoleksi Kompas, khususnya kolom Opini. Menurut saya, kolom Opini Kompas penting dan mahal ilmunya. Berkat koleksi-tulisan tersebut, saya belajar banyak dan wawasan saya terbuka.
Banyak membaca tulisan Opini juga membuat saya bisa memperkaya setiap artikel yang saya tulis.
Melalui surat pembaca ini, saya berharap harian Kompas untuk terus setia menerbitkan Kompas cetak. Sekalipun sudah banyak platform bacaan harian Kompas dalam bentuk digital, saya secara pribadi membutuhkan tulisan dalam platform cetak.
Apalagi sekarang, usia harian Kompas sudah memasuki 56 tahun. Semoga apa yang sudah dirintis PK Ojong dan Jakob Oetama dapat menjadi suatu warisan yang berharga bagi kami para pembaca Kompas maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Semoga harian Kompas tetap setia pada amanat hati nurani rakyat dan para pembacanya di seluruh penjuru Tanah Air.
Juniper Silitonga
Padang Bulan, Medan
Limbah Peternakan
Kami, warga Dusun Jagil, Desa Gambiran, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mengeluhkan kegiatan usaha peternakan ayam yang tidak menangani limbahnya dengan baik.
Usaha itu hanya dipisahkan jalan desa selebar 2,5 meter dengan rumah warga terdekat. Limbah yang tidak dikelola itu meliputi kotoran ayam, sisa pakan, hingga air dari pembersihan ternak. Baunya sangat mengganggu juga muncul banyak lalat.
Saya memberanikan diri menyampaikan keluhan ini, sambil berharap pihak terkait, terutama Bupati Pasuruan melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kesehatan, untuk mengatasi masalah ini.
Eka Yordan
Dusun Jagil, Desa Gambiran, Prigen-Pasuruan