Larangan Kawin Kontrak dan Perlindungan Hak Perempuan
Peraturan Bupati Cianjur tentang Larangan Kawin Kontrak merupakan harapan bagi upaya perlindungan perempuan. Harapannya, peraturan ini benar-benara diimplementasikan, bukan hanya macan kertas.
Oleh
SALI SUSIANA
·5 menit baca
Membaca berita mengenai terbitnya Peraturan Bupati Cianjur tentang Larangan Kawin Kontrak seperti tidak percaya, mengingat praktik kawin kontrak di kawasan Puncak, termasuk di Cianjur, ini sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Bahkan, banyak yang pesimistis dan meragukan implementasi dari aturan tersebut. Hal itu dapat dimaklumi karena banyak pihak yang selama ini menikmati bisnis dari kawin kontrak tersebut yang akan kehilangan penghasilan.
Penulis memilih untuk tetap optimistis dan berharap langkah Pemerintah Kabupaten Cianjur ini akan diikuti oleh pemerintah daerah lain. Saat ini peraturan tersebut masih menunggu evaluasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk disetujui sehingga belum mencantumkan nomor dan sanksi tegas bagi pelaku kawin kontrak.
Perdagangan perempuan
Merujuk pada tulisan Maripah (2016) yang melakukan riset tentang fenomena kawin kontrak di sebuah desa di Kecamatan X, Kabupaten Bogor, sebelum fenomena kawin kontrak ini muncul, terlebih dahulu muncul daerah yang dinamakan Warung Kaleng pada 1980-an. Daerah yang lebih dikenal masyarakat luar dengan sebutan Kampung Arab itu muncul setelah mulai banyak turis dari Timur Tengah yang datang ke kawasan Puncak. Dan, pada 1987, untuk pertama kali muncul kawin kontrak yang dilakukan orang Arab dengan perempuan lokal.
Dalam derajat berbeda, fenomena serupa kawin kontrak juga terjadi di daerah Singkawang, Kalimantan Barat. Yentriyani (2007) menyebutnya sebagai mail ordered bride atau pengantin pesanan. Dalam kasus pengantin pesanan ini, juga terjadi perkawinan antarnegara, yaitu antara perempuan keturunan etnis China dari Kota Singkawang dan laki-laki dari Taiwan. Bedanya, perempuan yang dinikahi dibawa ke Taiwan. Beberapa studi menunjukkan, sebagian perempuan yang dinikahi oleh laki-laki Taiwan tersebut diperlakukan secara semena-mena oleh suaminya, melakukan semua pekerjaan rumah tangga tanpa istirahat yang cukup, dipaksa bekerja di lahan pertanian, bahkan ada yang ”dijual” kembali.
Dari dua model perkawinan tersebut, sesungguhnya terdapat kesamaan atau kemiripan. Keduanya berpotensi untuk menjadi tindak perdagangan orang (trafficking). Mengapa? Karena ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari terjadinya perkawinan tersebut. Keduanya memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu melibatkan agen atau calo atau perantara yang mengambil keuntungan dari setiap perkawinan yang terjadi.
Mengacu pada Komnas Perempuan (2002), terdapat dua bentuk perdagangan perempuan melalui perkawinan. Pertama, perkawinan menjadi cara untuk menipu perempuan karena perempuan kemudian disalurkan ke dalam industri seks atau prostitusi. Kedua, perkawinan dikomersialisasikan, yang sering disebut sebagai istri pesanan.
Perdagangan perempuan melalui perkawinan juga disebut sebagai perdagangan istri (trafficking bride).
Oleh karena itu, perdagangan perempuan melalui perkawinan juga disebut sebagai perdagangan istri (trafficking bride). Dalam jenis trafficking yang kedua ini, perempuan tidak mengenal calon suaminya, bahkan ia tidak memiliki informasi apa pun mengenai laki-laki yang akan menikahinya. Semuanya telah diatur oleh calo atau perantara.
Sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, baik dalam kawin kontrak di kawasan Puncak maupun pengantin pesanan di daerah Singkawang didasari oleh motif ekonomi. Perempuan yang melakukan kawin kontrak atau yang menjadi pengantin pesanan berharap mendapatkan dua hal dari perkawinan semacam itu, yaitu pertama, meringankan beban ekonomi keluarga karena selama ini mereka tidak memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan uang.
Dalam beberapa kasus bahkan pelaku kawin kontrak di kawasan Puncak masih berstatus pelajar. Mereka biasanya memilih untuk melakukan kawin kontrak dalam jangka pendek, mulai dari seminggu hingga sebulan. Kedua, mereka berharap pernikahan tersebut akan dapat mengubah nasib mereka. Dalam kasus kawin kontrak di Puncak, banyak perempuan yang dijanjikan akan diberi mahar puluhan juta, dibelikan kendaraan, hingga rumah.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, para pihak yang terlibat dalam kawin kontrak ataupun pengantin pesanan dapat dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 juta. Para pihak yang terlibat dalam praktik tersebut, antara lain, penyedia korban untuk kawin kontrak; penyedia tamu atau pengguna yang akan dinikahkan dengan korban; penyedia transportasi untuk membawa korban; dan pengguna/pemesan (calon pengantin laki-laki).
Perlindungan hak perempuan
Salah satu tujuan pemberantasan praktik perdagangan orang, termasuk perdagangan perempuan, adalah melindungi hak-hak perempuan. Meskipun sebagian perempuan yang melakukan kawin kontrak mendapatkan manfaat secara ekonomi, dalam banyak kasus perempuan yang melakukan kawin kontrak mengalami kerugian, bahkan menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Selama menjalani nikah kontrak, perempuan tidak diizinkan untuk keluar rumah. Dengan demikian, ia dilarang untuk bersosialisasi selama terikat dalam perkawinan tersebut.
Berbagai studi menunjukkan bahwa banyak perempuan yang dinikahi dengan sistem kawin kontrak tidak mendapatkan materi sebagaimana yang diperjanjikan, baik berupa uang maupun barang, seperti motor, mobil, dan rumah. Ada yang selama menjalani kawin kontrak ditempatkan di suatu rumah, tetapi ketika kawin kontrak berakhir ia diminta meninggalkan rumah tersebut, jadi rumah yang dijanjikan hanya berlaku selama ia menjalani kawin kontrak.
Ada pula perempuan yang menerima hadiah motor setelah melakukan kawin kontrak, tetapi setelah kawin kontrak selesai motornya diminta kembali, bukan oleh mantan suami kawin kontraknya, melainkan oleh calo yang dulu mengurus kawin kontraknya. Belum lagi cerita mengenai permintaan suami untuk melakukan aktivitas seksual yang tidak lazim kepada perempuan yang dinikahinya selama menjalani kawin kontrak dan memaksakan hubungan seksual ketika perempuan sedang menstruasi.
Jangka waktu kawin kontrak bervariasi, mulai dari seminggu hingga setahun. Dengan demikian, perempuan yang menjalani kawin kontrak juga memiliki berbagai risiko, termasuk risiko mendapat tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan risiko untuk hamil. Akan timbul masalah jika kawin kontrak berakhir dan perempuan hamil. Mantan suaminya sudah kembali ke negara asalnya dan perempuan tersebut harus menghidupi anak dari hasil kawin kontrak tersebut. Status anak yang lahir dari kawin kontrak juga tidak jelas. Belum lagi risiko terkena penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS.
Terbitnya peraturan daerah yang melarang kawin kontrak diharapkan tidak hanya menjadi macan kertas, tetapi benar-benar diimplementasikan.
Terbitnya peraturan daerah yang melarang kawin kontrak diharapkan tidak hanya menjadi macan kertas, tetapi benar-benar diimplementasikan. Diperlukan peran serta dari semua pihak terkait, terutama aparat penegak hukum. Akan lebih baik lagi jika peraturan ini juga disertai dengan sanksi hukum sehingga menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Tidak hanya diperlukan sosialisasi mengenai peraturan ini agar para pihak yang selama ini berperan dalam terjadinya kawin kontrak tidak menjalankan aksinya lagi dan masyarakat, terutama perempuan, menyadari bahwa praktik kawin kontrak sesungguhnya merugikan perempuan.
Sali Susiana, Peneliti Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR