Di usia yang ke-56, Kompas bersama lembaga pers lainnya bertekad terus mengembangkan kerja jurnalistik agar mampu menjadi tonggak kokoh, pegangan publik menghadapi banjir informasi.
Oleh
REDAKSI
·4 menit baca
Bertubi-tubi, susul-menyusul, tautan berita, foto, video, gambar membanjiri gawai tanpa bisa kita kendalikan. Kadang menginspirasi, sering kali malah menguras energi.
Banjir informasi telah lama melanda, tetapi tidak banyak yang peduli. Ada yang menyebut sebagai fenomena information overload, infobesity, atau information explosion. Secara perlahan, kita pun terseret arus. Seiring waktu, banjir pun kian meninggi, bak tsunami. Tanpa menemukan pilar kokoh sebagai pegangan, kita akan digulungnya. Tenggelam.
Revolusi teknologi informasi komunikasi yang melahirkan media sosial atau aplikasi pesan singkat adalah salah satu penyebabnya. Media baru itu memungkinkan semua penggunanya bisa memproduksi konten sendiri, menayangkannya sendiri, juga aktif menyebarluaskannya, tanpa menyiapkan manusia-manusia penggunanya.
Industri teknologi raksasa menciptakan platform-platform ini dengan canggih. Didesain sedemikian rupa melibatkan ahli-ahli psikologi ternama dan memadukan dengan kecerdasan buatan. Siapa pun menjadi mudah menggunakannya, bahkan kecanduan.
Kehadiran media baru pada satu sisi memudahkan siapa pun membuat informasi sehingga informasi menjadi melimpah dan disebut era informasi. Pada sisi lain, memudahkan siapa pun menyebarkan penyesatan informasi. Era informasi pun menjelma menjadi era disinformasi.
Masifnya penyebarluasan berita bohong, ujaran kebencian, diskriminasi, perundungan, pelecehan kelompok marginal, penipuan, trolling (memancing kemarahan), doxing (menyebarkan data pribadi di dunia maya untuk merusak reputasi seseorang), hingga perekrutan kegiatan prostitusi, radikalisme, dan terorisme adalah sederet daftar hitam.
Pada saat bersamaan, tanpa disadari penuh pengguna, perusahaan teknologi juga diam-diam menyedot data pribadi dan perilaku penggunanya. Alih-alih media sosial sebagai sarana interaksi sosial, penyedia platform memonetisasi data penggunanya, dan menjadikan mereka sebagai produknya, yaitu target pemasaran.
Konten-konten pun tersebar bukan lagi secara organik, melainkan secara programatik sesuai pesanan. Bukan hanya memasarkan barang, bahkan kampanye politik. Akun-akun organik dan robotik pun bercampur aduk. Begitu pula dengan konten orisinal ataupun rekayasa. Publik pun menjadi kesulitan menemukan kebenaran.
Daya papar yang berulang dan membombardir terus-menerus semakin mengaburkan antara yang benar dan salah. Beberapa penelitian menunjukkan, orang akan memiliki kepercayaan diri yang maksimal dalam sebuah ide setelah diulang tiga hingga lima kali (Brinol, 2008). Bayangkan ketika sebuah kebohongan terus diulang di media sosial dan disebarkan oleh robot-robot yang seakan-akan terjadi alamiah. Betapa akan merasuknya.
Rakyat Amerika Serikat (AS) pun teperdaya dibuatnya. Mereka baru belakangan menyadari bahwa akun-akun media sosial yang menyebarkan jutaan pesan politik dalam pemilu AS 2016 adalah akun-akun robotik yang merupakan propaganda komputasional, seperti ditulis Agus Sudibyo dalam buku Tarung Digital.
Menyadari dampak luar biasa itu, sejumlah eksekutif industri teknologi raksasa pun resah dan akhirnya buka mulut. Film dokumenter berjudul The Social Dillema merekam pengakuan-pengakuannya. Mereka sadar, teknologi yang mereka ciptakan ibarat koin memiliki dua sisi berbeda, setelah digunakan secara berbeda, menimbulkan konsekuensi besar, mulai dari mengganggu kesehatan mental individu hingga polarisasi yang mengancam keutuhan negara.
Mereka sadar, teknologi yang mereka ciptakan ibarat koin memiliki dua sisi berbeda.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Di masa pandemi pun disinfodemi terus membanjir. Meski Covid-19 telah memapar 181 juta warga dan menyebabkan 3,9 juta orang meninggal, masih banyak warganet yang terpapar hoaks sehingga percaya bahwa Covid-19 tidak ada atau sebuah konspirasi.
Pilar pers
Gordon B Davis dalam Management Informations System: Conceptual Foundations, Structures, and Development mengingatkan, sejatinya informasi merupakan data yang telah diolah menjadi bentuk yang dapat dipahami dan berguna bagi penerima dalam membuat keputusan kini dan masa depan.
Berkembangnya informasi yang sehat harus ditunjang lima unsur komunikasi yang juga sehat, yaitu komunikator, pesan, media komunikasi, komunikan, dan umpan baliknya. Namun, di era revolusi teknologi informasi, unsur media komunikasi perlu banyak mendapat perhatian.
Menghadapi industri teknologi raksasa global, negara harus berada di depan. Negara, misalnya, harus memberi tuntutan lebih kepada industri platform, seperti yang kini diupayakan banyak negara. Perusahaan teknologi harus mempertanggungjawabkan secara hukum atas besarnya volume mis dan disinformasi yang terhantarkan sedemikian masif ke banyak pengguna. Dengan tanggung jawab itu mereka akan terus mempersempit masuk dan tersebarnya informasi keruh, sebaliknya semakin memberi ruang pembuat informasi jernih.
Pada sisi lain, literasi digital perlu digencarkan untuk mengedukasi komunikan. Data digital 2021 menunjukkan, warganet Indonesia belum memberikan perhatian pada misinformasi dan berita palsu. Manusia sebagai homo sapiens, seperti dikatakan sejarawan dunia Yuval Noah Harari, adalah spesies pascakebenaran, yang kekuatannya bergantung pada penciptaan dan keyakinan pada fiksi. Tanpa panduan etik dan kontrol metodologi yang ketat, manusia cenderung membuat informasi sesuai keyakinannya.
Penguatan pers sebagai wahana komunikasi massa yang memang didedikasikan melaksanakan kegiatan jurnalistik, yang meliputi mencari, memperoleh, menyeleksi, memverifikasi, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada publik berdasarkan metodologi dan kode etik yang ketat guna mengatasi subyektivitas pembuatnya, menjadi keniscayaan. Berbagai persoalan yang menjadi luar biasa kompleks (infinitely complex era) dapat diurai komprehensif dan obyektif.
Kembali meningkatnya harapan warga dunia kepada media tepercaya menjadi momentum bagi pers untuk merefleksi diri dan berbenah. Di usia yang ke-56, Kompas bersama lembaga pers lainnya bertekad terus mengembangkan kerja jurnalistik agar mampu menjadi tonggak kokoh, pegangan publik menghadapi banjir informasi. Doa, restu, dan dukungan masyarakat sangat berarti bagi kami.