Hari demi hari isu ”taper tantrum” menghantui. Kurs rupiah relatif stabil, tetapi berpotensi goyah. Inilah efek dari kerentanan defisit anggaran pemerintah, tanda bahwa konsumsi lebih besar dari pendapatan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Negara-negara berkembang dengan perekonomian energik dan terbuka sedang waswas. Potensi taper tantrum oleh Bank Sentral AS bisa memukul kurs mata uang.
Akibat pandemi yang melemahkan perekonomian, Maret 2020 Bank Sentral Amerika Serikat (AS) langsung menurunkan suku bunga acuan menjadi 0 hingga 0,25 persen. Kebijakan ini turut menurunkan suku bunga di AS dan global, termasuk di Indonesia. Efek lainnya adalah peredaran uang bertambah di AS dan dunia, terutama negara dengan perekonomian terbuka, untuk menopang perekonomian.
Optimisme yang mencuat tentang kebangkitan perekonomian global, termasuk di AS dan juga Indonesia, membuat fungsi kebijakan moneter tidak terlalu diperlukan. Intinya, pengetatan kebijakan moneter (taper tantrum) sudah boleh dimulai, seperti disuarakan Presiden Bank Sentral AS, St Louis, James Bullard.
Pasar juga sudah mulai mengantisipasi pengetatan kembali kebijakan moneter. Hal itu sudah disuarakan Menkeu AS Janet Yellen dan mantan Menkeu Steve Mnuchin. Alasannya, inflasi mencapai 3,5 persen, sudah di atas 2 persen, ambang batas yang dianggap pas untuk memulai pengetatan.
Namun, Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell menyatakan, inflasi rentan untuk turun kembali karena pandemi belum pasti mereda. Di sisi lain, lapangan pekerjaan masih defisit sebanyak 7,6 juta orang di AS dibandingkan dengan posisi sebelum pandemi. Atas dasar itu, Powell menyatakan pengetatan belum bisa dilakukan segera.
Akan tetapi, pasar sudah bereaksi perlahan. Hari demi hari isu taper tantrum menghantui. Kurs rupiah relatif stabil, tetapi berpotensi goyah. Mengapa demikian? Inilah efek dari kerentanan defisit anggaran pemerintah. Defisit ini menandakan konsumsi lebih besar dari pendapatan. Hal itu membuat defisit pada neraca transaksi berjalan untuk kasus empiris Indonesia, seperti dialami banyak negara lain, akibat masuknya jasa dan dana asing untuk menutupi atau konsekuensi dari defisit.
Bank Dunia menilai, Asia, termasuk Indonesia, tidak seperti dalam posisi tahun 1997 yang terkenal dengan letusan krisis moneter bersejarah. Namun, Indonesia yang kaya sumber daya alam dan mineral belum bisa menjadi seperti Arab Saudi dan Singapura, Taiwan, yang memiliki sovereign wealth fund yang besar dan seharusnya bisa menjadi benteng kuat melawan arus pelarian dana-dana asing.
Pasar juga sudah mulai mengantisipasi pengetatan kembali kebijakan moneter. Hal itu sudah disuarakan Menkeu AS Janet Yellen dan mantan Menkeu Steve Mnuchin.
Posisi Indonesia tidak separah 1997 dan 2013, tahun yang juga dikenal dengan proses taper tantrum dan memukul keras kurs rupiah. Pemerintah RI sekarang juga terlihat gencar menekan defisit dengan ekstensifikasi penerimaan, sebuah upaya antisipatif yang nyata.
Akan tetapi, kurs rupiah yang selalu menjadi taruhan dalam situasi taper tantrum, yang lambat atau cepat pasti terjadi, juga tidak dijamin aman dari guncangan. Inilah situasi puluhan tahun yang mengiringi Indonesia. Kita belum lulus tentang bagaimana memperkuat diri menghadapi fenomena taper tantrum. Negara dengan anggaran defisit rentan dalam pasar uang global yang erratic dan sarat spekulan.