Pemilih di Jawa pada Pemilu 2019 adalah 58,01 persen dari sekitar 190,77 juta pemilih. Ini bukan angka yang kecil jika simpati mayoritas warga itu bisa diraih, dengan kepedulian nyata dalam penanggulangan Covid-19.
Oleh
Redaksi Kompas
·3 menit baca
Homo ludens menempatkan manusia dalam konsep makhluk yang suka bermain. Sementara homo socius menempatkan manusia yang berinteraksi dengan manusia lain.
Salah satu permainan yang disukai manusia, selain olahraga, tentu saja kekuasaan. Permainan kekuasaan itu bahkan membikin manusia sering kali menjadi serigala bagi manusia lain, homo homini lupus est, seperti dikatakan sastrawan Romawi, Titus Macius, dalam karyanya, Asinaria (195 SM). Padahal, hakikat manusia adalah makhluk sosial, yang berinteraksi dan saling membantu dengan manusia lain. Tiada manusia yang tidak membutuhkan manusia lain, termasuk dalam permainan kekuasaan. Permainan politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kepentingan sesaat pada kekuasaan acap kali memalingkan perhatian manusia pada hakikatnya. Manusia seperti tidak memiliki empati kepada orang lain, yang menderita. Keadaan itu terasa saat ini ketika bangsa ini dilanda pandemi Covid-19, dengan kondisi yang kian kritis dan krisis. Harian ini melaporkan, jumlah pasien Covid- 19 yang membutuhkan perawatan melebihi kapasitas fasilitas kesehatan. Tenaga medis dan rumah sakit kewalahan, khususnya di Pulau Jawa. Dituliskan, Pulau Jawa darurat Covid-19 (Kompas, 21/6/2021).
Di sisi lain, tahun politik terasa datang lebih cepat. Elite politik mulai membicarakan dan mempersiapkan diri mengikuti permainan perebutan kekuasaan, yakni Pemilu 2024, yang baru akan datang sekitar tiga tahun lagi. Elite politik yang lain mencari celah permainan kekuasaan lain, seperti membahas peluang presiden boleh menjabat tiga periode, presiden/wakil presiden dipilih kembali oleh MPR dan bukan oleh rakyat secara langsung, serta kemungkinan menambah periode masa jabatan karena kepemimpinan nasional saat ini tidak bisa menjalankan programnya gegara terganggu pandemi Covid-19.
Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan sukarelawan, anggota kabinetnya, dan elite politik, termasuk kepala daerah, tak terburu-buru bermanuver untuk kepentingan pemilu mendatang. Perhatian diharapkan tetap pada penanggulangi pandemi Covid-19 yang sekarang memuncak lagi. Jumlah warga yang terinfeksi virus korona jenis baru, sesuai data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Senin (21/6/2021), mencapai 2.004.445 orang, dengan 54.956 orang meninggal. Angka ini tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan, wacana perpanjangan masa jabatan presiden lewat amendemen konstitusi itu hanya aspirasi elite politik (Kompas.id, 20/6/21). Ada pula elite politik yang mulai mencari perhatian warga, dengan cara mirip saat kampanye. Padahal, pandemi bisa menjadi wahana bagi elite politik untuk mendapat simpati warga, dengan menunjukkan perhatian dan karya nyata dalam penanggulangan Covid-19. Bukan mengedepankan maunya.
Jika Jawa kini sedang krisis dan kritis dilanda pandemi, inilah lahan yang tepat bagi elite politik untuk menjaring simpati. Jumlah pemilih di Jawa, belajar dari Pemilu 2019, adalah 58,01 persen dari total sekitar 190,77 juta pemilih. Ini bukan angka yang kecil jika simpati mayoritas warga itu bisa diraih, dengan kepedulian nyata dalam penanggulangan Covid-19. Bukan justru menunjukkan kehausan akan kekuasaan semata.