Dari berbagai keterbatasan dan dampak negatif pandemi Covid-19, kita perlu memikirkan cara-cara beradaptasi yang memungkinkan kita tetap bertahan secara ekonomi dan tetap sehat mental.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Di banyak masyarakat, termasuk di masyarakat kita, kesendirian cenderung dimaknai negatif, sebagai suatu keadaan tanpa hubungan sosial. Atau sebagai keadaan yang menghalangi kita untuk dapat berhubungan sosial dengan orang lain. Keadaan itu buruk karena ketika tidak dapat bertemu dan berhubungan sosial dengan orang lain, kita akan mengalami kesepian.
Lebih lanjut lagi, kesepian berhubungan dengan masalah-masalah psikologis, seperti depresi, kecemasan, menurunnya kemampuan kognitif, dan menurunnya kebahagiaan. Ternyata kesepian juga berhubungan dengan masalah-masalah kesehatan fisik, seperti meningkatnya tekanan darah serta risiko penyakit jantung dan alzheimer.
Pandemi Covid-19 jelas sangat mengurangi kesempatan kita untuk dapat bertemu dengan orang lain secara tatap muka langsung. Maka cukup banyak orang mengkhawatirkan dampak psikologis dari pandemi. Ini karena pandemi menghambat kemampuan kita berhubungan dengan orang lain, padahal berkoneksi dengan orang lain itu merupakan kebutuhan psikologis dasar manusia.
Mengubah cara berpikir
Di awal pandemi, kita menyangka pandemi tidak akan berlangsung lama. Ternyata setelah hampir satu setengah tahun berlangsung, kita tidak tahu kapan pandemi akan berakhir. Maka, sebagian praktisi dan peneliti kesehatan mental mulai berpikir untuk menemukan atau mengonstruksi sisi-sisi positif dari keterbatasan yang ada untuk memastikan manusia dapat tetap sehat mental.
Saya menemukan laporan penelitian Rodriguez dkk (2020) yang berupaya menghadirkan perspektif baru. Seperti telah disebutkan, kesepian banyak berkaitan dengan masalah kesehatan mental dan fisik, dan karena itu, perlu diatasi.
Intervensi untuk mengatasi kesepian umumnya dengan meningkatkan kontak sosial. Sebagai contoh, intervensi melalui pertukaran kunjungan dari para penghuni panti atau dibuat program dukungan sosial yang memungkinkan orang untuk dapat saling berkenalan dan menyapa meski hanya lewat internet.
Bila kontak sosial dapat dilakukan, tentu itu lebih ideal. Namun, bagaimana bila situasinya tidak memungkinkan? Mungkinkah mengubah cara berpikir kita sendiri mengenai kesendirian itu dapat membuat kita tidak lagi merasa sepi meski sedang sendiri?
Rodriguez dkk (2020) melakukan riset eksperimental terhadap 220 mahasiswa dan anggota masyarakat. Partisipan diacak untuk ditempatkan di tiga kelompok berbeda. Kelompok pertama diminta membaca tulisan mengenai manfaat dari solitude. Istilah ini tampaknya belum ada padanan yang pas di bahasa Indonesia. Solitude menunjuk pada situasi sendiri yang hening, tetapi tidak dimaknai sebagai kesepian, dan bahkan dimaknai secara positif.
Kelompok kedua membaca mengenai fakta nyata dari kesepian. Sementara kelompok ketiga diminta membaca tentang topik lain yang tidak berhubungan dengan masalah kesepian ataupun solitude.
Para partisipan kemudian diminta untuk duduk sendiri selama 10 menit. Ternyata duduk sendiri itu menurunkan suasana hati positif ataupun negatif di semua kelompok. Maksudnya, sebagai contoh, bila sebelumnya partisipan merasa kesal, kekesalannya menurun. Sebaliknya, ketika sebelumnya ia merasa sangat antusias, antusiasmenya juga cenderung menurun.
Yang menarik, partisipan yang membaca uraian mengenai kesendirian sebagai hal positif menunjukkan penurunan suasana hati positif paling kecil. Juga, partisipan yang sebelumnya tidak pernah berpikir mengenai sisi positif dari kesendirian memperoleh manfaat paling besar dari manipulasi sederhana yang dilakukan dalam eksperimen itu.
Partisipan yang diberi tugas membaca kesendirian sebagai hal yang (potensial) positif melaporkan bahwa pandangannya berubah. Bila sebelumnya situasi sendiri dilihat sebagai hal negatif, setelah membaca, mereka melihat kemungkinan positif dari berada dalam keadaan sendiri.
Buang stigma
Hal yang dapat dipelajari adalah bahwa kesepian itu tidak sama dengan isolasi fisik. Mungkin saja kita tidak terpisah secara fisik dari orang lain, tetapi tetap menghayati kesepian.
Kesepian lebih merupakan penghayatan atau persepsi subyektif kita mengenai keterpisahan atau isolasi sosial kita. Jadi, barangkali persepsi itu pula yang berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan fisik dan mental kita, bukan situasi obyektif kesendirian kita.
Sendiri yang dimaknai sebagai keheningan positif ternyata berasosiasi dengan banyak hal yang positif. Orang yang merasakannya menunjukkan kemampuan penyesuaian psikologis yang lebih baik, kemampuan mengelola tekanan, dan juga kepuasan hidup.
Penelitian menghadirkan temuan atau refleksi menarik dan penting. Tampaknya selama ini kita sangat menilai negatif situasi sendiri. Situasi sendiri dianggap membosankan, menjenuhkan, dan karena itu, memang menjadi demikian.
Sendiri yang dimaknai sebagai keheningan positif ternyata berasosiasi dengan banyak hal yang positif.
Bahkan, orang yang sendirian, misal tidak punya pasangan atau keluarga, dilihat sebelah mata, dinilai ”mungkin punya masalah”, ”tidak asyik”, ”kurang laku”, ataupun dikenai stigma lain. Kondisi itu mengakibatkan kita merasa kagok dan malu bila, misalnya, harus datang ke pesta sendiri atau mengakui tidak memiliki pacar.
Manipulasi sederhana yang dilakukan dalam penelitian berdampak berbeda. Yang telah mampu memaknai situasi sendiri sebagai bukan berarti sepi, tidak lagi memperoleh manfaat dari bacaan yang diberikan. Sementara yang sebelumnya tidak pernah berpikir demikian memperoleh manfaat terbesar.
Hal itu membuat kita berpikir bahwa mereka yang sering merasa kesepian karena kesendiriannya mungkin dapat dibantu untuk tidak lagi melihat situasi sendiri sebagai hal yang sangat negatif. Kita dapat mengembangkan intervensi yang memfokus pada mengubah perspektif.
Orang yang sendiri tidak perlu dilihat ”berkekurangan” dan situasi sedang atau harus sendiri tidak perlu sedemikian dikhawatirkan. Bahkan, individu dapat diajak untuk mulai menemukan kemungkinan-kemungkinan positif dari situasi tanpa kehadiran orang lain.
Tampaknya dunia sedang perlahan menjalani dan melakukan perubahan-perubahan. Dari berbagai keterbatasan dan dampak negatif dari pandemi Covid-19, kita perlu memikirkan cara-cara beradaptasi yang memungkinkan kita tetap bertahan secara ekonomi dan tetap sehat mental.