Disrupsi digital yang akan diperkuat oleh datangnya era Revolusi Industri 4.0, yang membawa teknologi mutakhir, menuntut ketersediaan sumber daya manusia yang mumpuni, seperti di bidang kecerdasan buatan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Petugas membagikan sarung tangan plastik kepada peserta ujian tulis berbasis komputer Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2020 gelombang kedua di Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Pondok Labu, Jakarta Selatan, 21 Juli 2020.
Selama sepekan terakhir, Kompas menurunkan sejumlah laporan terkait penerimaan mahasiswa dan penegasan Mendikbud Ristek terkait program Kampus Merdeka.
Kita tertarik untuk memberi catatan tentang minat calon mahasiswa dalam bidang studi serta ada kesenjangan antara minat dan bidang baru yang kini tumbuh di dunia kerja.
Seperti diberitakan, dari hasil tes Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2021, program studi favorit belum banyak berubah (Kompas, 15/6/2021).
Program studi yang diminati calon mahasiswa masih seputar hukum, manajemen, psikologi, komunikasi, akuntansi, dan hubungan internasional. Untuk sains dan teknologi, yang paling diminati ialah teknologi kimia, kedokteran, teknik elektro, dan aktuaria. Dari Statistik Pendidikan Tinggi, kecenderungan pilihan masih pada sosial humaniora daripada sains dan teknologi.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE
Harry Leonardo, mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Universitas Mercu Buana, Jakarta, mempelajari materi kuliah yang dibagikan secara virtual, 2 Juni 2020.
Pakar peta karier Ina Liem menyimpulkan, pilihan program studi anak Indonesia masih konvensional, masih mencari rasa aman. Jurusan pilihan terkait dengan peluang lebih besar untuk menjadi pegawai negeri sipil yang dinilai aman.
Hal ini pada sisi lain dinilai berlawanan dengan perkembangan di dunia kerja. Dengan kian bergesernya ekonomi ke arah inovasi, juga akibat berlangsungnya disrupsi digital, banyak jenis pekerjaan lama yang surut dan pekerjaan baru yang muncul. Belum lagi disrupsi akibat pandemi yang juga menghasilkan perubahan peta lapangan kerja.
Disrupsi digital yang suatu hari nanti akan diperkuat oleh datangnya era Revolusi Industri 4.0, yang membawa teknologi mutakhir, jelas menuntut ketersediaan sumber daya manusia yang mumpuni, seperti di bidang kecerdasan buatan, internet segala, dan robotika.
Dewasa ini, disrupsi digital yang terjadi saja telah membuka berbagai lapangan kerja baru, seperti ahli data. Peta lapangan kerja bergeser. Ahli teknologi informasi yang sebelumnya sekadar pendukung kini justru berada di tengah panggung, sebagai pilar perusahaan, jika mengikuti perkembangan menjamurnya perusahaan rintisan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sophia, robot yang didukung teknologi kecerdasan buatan, menjalani wawancara khusus dengan media pada CSIS Global Dialogue 2019, di Jakarta, 16 September 2019.
Memang kita masih memerlukan banyak dokter, ahli manajemen, dan ahli komunikasi mengingat yang ada masih kurang jumlahnya untuk bangsa sebesar Indonesia. Namun, munculnya perkembangan baru jangan dipandang sebelah mata.
Untuk mendekatkan wawasan mahasiswa (dan perguruan tinggi) pada perkembangan di dunia industri, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim memperkenalkan program Kampus Merdeka. Program ini dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada mahasiswa agar memiliki pengalaman menantang dan keluar dari zona nyaman, terlibat dalam proyek sosial kemanusiaan, profesional sampai ke desa, menantang karakter, integritas, dan jiwa sosial (Kompas, 17/6/2021).
Tampak, tantangan bagi calon mahasiswa bukan saja pada jurusan yang dipilih, melainkan juga pada respons mereka terhadap apa yang berkembang di dunia industri. Pengelola perguruan tinggi juga diharapkan mampu menarik calon mahasiswa untuk menerjuni bidang studi baru dan memfasilitasi mereka dengan metode pendidikan yang mutakhir.