Ada distorsi informasi sehingga spirit dari upaya memperbaiki kinerja pajak yang hendak ditempuh pemerintah ditangkap secara asimetris. Akibatnya menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai yang akan menyasar barang dan jasa strategis yang dikonsumsi masyarakat sempat menimbulkan polemik di publik.
Dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang beredar di media terungkap, dalam rangka mengejar penerimaan pajak, pemerintah berencana memperluas obyek kena pajak. Caranya dengan mengubah skema dan menghapus beberapa jenis barang dan jasa yang dikecualikan dari obyek pajak, dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Barang dan jasa yang disebutkan, antara lain, sembako, susu formula untuk bayi, jasa pendidikan seperti sekolah swasta, dan jasa kesehatan, termasuk rumah bersalin. Kontan rencana ini memicu reaksi keberatan dari masyarakat karena dianggap akan menambah beban masyarakat di tengah semakin beratnya beban hidup akibat pandemi Covid-19.
Dari yang kita tangkap, ada distorsi informasi sehingga spirit dari upaya memperbaiki kinerja pajak yang hendak ditempuh pemerintah ditangkap secara asimetris sehingga justru memunculkan keresahan di masyarakat.
Kegaduhan yang sempat muncul memicu sejumlah ekonom berpendapat, sebaiknya rencana perubahan skema PPN cukup dilakukan melalui peraturan Menteri Keuangan (Menkeu). Timing yang tidak tepat dari kebijakan ini dinilai juga bisa memicu konsumen menunda belanja. Akibatnya, hal itu berdampak ke konsumsi masyarakat dan pemulihan ekonomi nasional.
Kita menyambut baik langkah reformasi pajak untuk memperbaiki kinerja yang selama ini masih jauh dari optimal. Rendahnya rasio pajak dibandingkan dengan banyak negara lain dan besarnya sumbangan pajak terhadap penerimaan negara memunculkan tantangan bagi pemerintah untuk terus menggali potensi pajak tanpa harus memberatkan perekonomian secara keseluruhan.
Dari target pendapatan negara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 Rp 1.743,6 triliun, sebesar Rp 1.444,5 triliun atau 82,8 persen diharapkan dari pajak dan sisanya dari penerimaan negara bukan pajak. Namun, realisasinya, penerimaan pajak sepanjang kuartal I-2021 baru Rp 228,1 triliun, atau minus 5,6 persen year on year (YOY), akibat kondisi dunia usaha yang belum pulih dari dampak pandemi.
Rendahnya rasio pajak dibandingkan dengan banyak negara lain dan besarnya sumbangan pajak terhadap penerimaan negara memunculkan tantangan bagi pemerintah untuk terus menggali potensi pajak tanpa harus memberatkan perekonomian secara keseluruhan.
Kita juga mengapresiasi respons sigap pemerintah terhadap masukan dan keluhan masyarakat, dengan mendesain ulang rancangan revisi UU No 6/1983, khususnya terkait PPN.
Dari pernyataan Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, kita menangkap, pengecualian PPN yang terlalu luas selama ini membuat kita gagal mengoptimalkan penerimaan pajak. Langkah yang mungkin akan dilakukan untuk membenahi adalah mengubah tarif PPN ke dalam tiga skema tarif: tarif umum, multitarif, dan tarif final.
Harus dipastikan, perubahan skema tarif yang akan diberlakukan pada barang dan jasa strategis tak makin membebani dan harus berpihak kepada kepentingan terbesar kelompok masyarakat bawah dan kelompok menengah rentan yang paling terdampak Covid-19. Jika tidak, akan muncul ketidakadilan manakala insentif pajak untuk konsumsi barang non-esensial, seperti Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) oleh kelompok mampu, justru digenjot. Optimalisasi PPN juga tidak boleh mengancam pemulihan ekonomi.