Pandemi Covid-19 telah menyebabkan ketegangan mental bagi banyak orang di seluruh dunia. Hidup dalam situasi yang penuh tekanan dan ketidakpastian saat ini menjadi pemicu meningkatnya gejala kecemasan.
Oleh
AGUSTINE DWIPUTRI
·5 menit baca
Setelah pandemi Covid-19 berlangsung lebih dari satu tahun, tampaknya jumlah mereka yang terinfeksi di beberapa lokasi tidak menurun; walaupun sosialisasi, pemantauan dan sanksi untuk protokol kesehatan terus gencar dilakukan. Angka penularan kadang menurun, lalu meningkat lagi. Dari sisi sikap dan perilaku manusianya, apa pembelajaran yang dapat kita tarik di sini?
Sesungguhnya ada begitu banyak perspektif yang dapat dibahas. Dalam tulisan ini saya ingin berfokus pada kondisi kecemasan yang dialami oleh hampir semua orang dalam masa ini. Perlu diakui bahwa banyak dari kita merasa kewalahan oleh kecemasan akan Covid-19, yang menimbulkan begitu banyak ketidakpastian dalam berbagai aspek kehidupan. Kecemasan sendiri diartikan sebagai respons emosional berorientasi ke masa depan terhadap ancaman yang dirasakan.
Aditi Subramaniam (2021), ilmuwan di bidang neurosains mengatakan, kecemasan merupakan mekanisme bertahan hidup yang membantu kita melindungi diri kita sendiri, tetapi tingkat yang berlebihan akan dapat melemahkan. Kecemasan yang berlebihan tidak hanya buruk bagi kesehatan mental kita, tetapi juga berdampak negatif terhadap sistem kekebalan tubuh.
Tak dapat dipungkiri bahwa ada peningkatan kekambuhan gangguan cemas dan depresi terutama pada mereka yang sebelum pandemi pernah mengalaminya. Penulis bidang kesehatan mental Cathy Cassata (2021) menyebutkan pandemi telah menyebabkan ketegangan mental bagi banyak orang di seluruh dunia.
Ia mengutip pendapat dari Sasha Guttentag, seorang ilmuwan peneliti yang mengatakan bahwa hidup dalam situasi yang penuh tekanan, seperti ketidakamanan finansial, pertengkaran keluarga, trauma, kehilangan, atau tentu saja pandemi saat ini dapat menjadi pemicu meningkatnya gejala kecemasan.
Mengatasi cemas berlebihan
Selain berkonsultasi kepada ahlinya, banyak saran dan pendekatan bisa dilakukan secara swakelola. Deborah Serani, PsyD. (2021) psikolog dan profesor di Universitas Adelphi, misalnya, menyarankan seseorang dengan kondisi cemas berlebihan untuk mendelegasikan tugas pada orang lain dan membatasi kegiatan yang terlalu banyak dalam sehari.
Seseorang yang cemas berlebihan juga dianjurkan berjanji melakukan satu aktivitas yang menenangkan diri tiap hari, seperti mandi, minum secangkir teh, tidur siang, atau berlatih pernapasan dalam selama lima menit.
Kecemasan yang berlebihan tidak hanya buruk bagi kesehatan mental kita, tetapi juga berdampak negatif terhadap sistem kekebalan tubuh.
Joel Minden (2020) mengatakan, ketika kita merasa cemas, acapkali ide-ide di balik emosi ini tidak terlalu jelas, dan itu membuat sulit mencari cara untuk mengatasinya. Kita perlu melihat sespesifik mungkin masalah kita untuk mengidentifikasi kekhawatiran yang terjadi, barulah kita dapat membuat beberapa strategi untuk bertindak atau mengaitkannya dengan kecemasan itu sendiri.
Setelah dapat mengakui bahwa kita telah melakukan apa yang kita bisa untuk tetap mendapat informasi atau melindungi diri, lihat apakah kita dapat tetap obyektif tentang pengalaman batiniah kita.
Meski situasi dalam ketidakpastian itu sulit, bahkan jika kita tidak menyukainya, kita tetap dapat menerimanya dan mengalihkan perhatian maupun perilaku kita kepada hal-hal yang benar-benar penting saat ini, seperti pekerjaan atau keluarga kita, sesuatu yang memberikan perasaan puas, santai, atau melakukan sesuatu yang menyenangkan lainnya.
Sementara, Aditi Subramaniam (2021) mengajak mereka yang cemas berlebihan untuk menetapkan rutinitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dapat membantu otak kita memersepsi akan kontrol.
Kita harus mencoba menahan godaan untuk berperilaku yang hanya membuat kita merasa lebih baik tentang situasi tersebut, tanpa benar-benar memahami apakah itu membantu atau sebenarnya berbahaya. Misalnya, perilaku mudik atau reuni beramai-ramai. Kemudian, bantulah otak kita untuk memersepsi bahwa jarak sosial tidak perlu berarti isolasi sosial di masa konektivitas virtual yang meningkat ini.
Berikutnya, memerhatikan kegiatan tidur berkualitas yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan emosional. Studi Aditi telah menemukan bahwa amigdala lebih rentan untuk meningkatkan respons terhadap rangsangan negatif ketika seseorang kurang tidur.
Kurang tidur juga dikaitkan dengan berkurangnya koneksi antara amigdala dan struktur otak tingkat tinggi. Contohnya, korteks prefrontal yang bertanggung jawab atas modulasi emosi dari atas ke bawah.
Terakhir, rutin berolahraga dapat memiliki efek positif pada emosi kita. Membuat tubuh kita bergerak tak hanya meningkatkan suasana hati serta mengurangi kecemasan dan stres, tetapi juga memiliki efek samping lain yang lebih menguntungkan seperti meningkatkan kemampuan berpikir dan memori.
Sisi lain kecemasan
Sebenarnya dalam keseharian, kita juga dapat mengamati bahwa munculnya kecemasan pada diri seseorang, mampu memberi dampak yang positif. Contohnya, seorang pelajar yang merasa cemas menghadapi ulangan minggu depan, justru dapat memotivasinya untuk mulai belajar dan mengerjakan soal-soal latihan sendiri. Perilaku mempersiapkan diri ini, membuatnya lebih tenang, yakin akan kemampuannya sehingga dapat menyelesaikan ulangan dengan lancar.
Demikian pula di masa pandemi ini, seseorang yang khawatir dan cemas akan tertular virus penyebab Covid-19, justru dapat membuatnya waspada. Kewaspadaan itu diwujudkan dengan selalu memakai masker dan menjaga jarak bila berjumpa dengan orang yang tidak ditemuinya setiap saat, dan sering mencuci tangan secara benar.
Mematuhi protokol kesehatan dan berdisiplin menjalankan hidup sehat, merupakan dampak positif dari kecemasan yang dialami agar tetap hidup sehat dan selamat. Inilah yang disebut sebagai kecemasan yang adaptif.
Terbukti secara jelas, bila ada peristiwa orang berkumpul dan berkerumun secara massal tanpa menjaga protokol kesehatan, siapa pun dan di mana pun lokasinya, maka angka penularan Covid-19 akan meningkat di situ. Mereka yang terlibat tentu mengalami penurunan atau tidak merasakan kecemasan dan kewaspadaan, hanya terbawa keinginan sesaatnya untuk ikut bergabung dengan kelompoknya. Artinya, dalam batas dan intensitas tertentu, adanya rasa cemas justru positif untuk dapat menjaga diri.
Hal itu sejalan dengan pandangan Aditi Subramaniam yang mengatakan bahwa pada tingkat intuitif tertentu, kita semua tahu perbedaan antara kecemasan yang positif atau adaptif dan jenis yang tidak terlalu baik karena berlebihan dan tidak terkendali.
Kecemasan merupakan emosi yang normal, sesuatu yang kita semua alami. Kita tidak selalu mempunyai banyak kendali atas hal tersebut, tetapi memiliki opsi yang berbeda untuk menanggapinya.
Meskipun kecemasan mungkin terasa sangat tidak nyaman, emosi itu sendiri tidak berbahaya. Sejauh rasa cemas itu dapat terkendali, dan tidak mengganggu fungsi hidup orang sehari-hari, dapat dikatakan tidak mengganggu namun justru memantapkan perilaku positif seseorang.
Mari bersama mengelola kecemasan kita secara adaptif.