Tampaknya Pemerintah Hindia Belanda, melalui ahli-ahlinya, telah memetakan wilayah Indonesia menjadi zona-zona komoditas pertanian, perkebunan, dan kehutanan berdasarkan agroklimat.
Oleh
Pangeran Toba P Hasibuan
·4 menit baca
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Akhirnya sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Saya dinyatakan terpapar Covid-19 dengan gejala ringan saat swab antigen dan PCR pada Senin, 24 Mei 2021.
Gejala awal saya rasakan sejak Kamis (20/5/2021). Tenggorokan serasa gatal, ingin batuk, tapi tidak keluar. Malam hari sudah terasa demam, langsung minum obat penurun panas dan istirahat. Jumat sore ke dokter. Hasil pemeriksaan tensi 110/80 dengan suhu 37,1 C. Dokter memberi vitamin dan obat penurun demam.
Hari Sabtu demam dan memutuskan tinggal di kamar sendiri. Hari keempat, Minggu, sudah terasa lebih baik meski suhu badan sekitar 37,4 celsius.
Hari kelima, Senin (24/5/2021), masih ikut vaksinasi Covid-19. Saya tidak lolos karena suhu tubuh 38 celsius. Petugas menyarankan swab PCR dan ternyata positif. Dokter mengatakan isolasi mandiri di rumah, tidak ada gejala dan komorbit.
Hasil tes PCR saya laporkan kepada kepala lingkungan tempat tinggal (setingkat RT) guna diteruskan ke Satgas Covid-19 tingkat kelurahan dan puskesmas setempat. Saya juga menghubungi pusat pangilan Covid-19 Pemprov Sumatera Utara beserta nomor hotline Media Center Gugus Tugas Covid-19 (0812 6490 2482 dan 0811 6106 111), tetapi kedua nomor tersebut tidak dapat dihubungi. Hingga surat ini dibuat, tidak ada Satgas Covid-19 yang menghubungi.
Dengan kemajuan sistem teknologi informasi, bukankah seharusnya pendataan ataupun penanganan dapat terintegrasi dari sejak pasien dinyatakan positif? Bukankah nomor telepon dan alamat pasien tercatat? Mengapa tidak terkoneksi langsung dengan sistem di satgas?
Selama isolasi mandiri, saya menyediakan sendiri semua obat-obatan dan vitamin, termasuk alat pengukur suhu dan saturasi oksigen. Pada Rabu (2/6/2021) saya swab antigen ulang dan dinyatakan sembuh, negatif Covid-19.
Meski sudah sembuh, saya masih punya ganjalan di hati, yaitu mengapa nomor pusat panggilan dan Satgas Covid-19 Provinsi Sumatera Utara tidak dapat dihubungi. Apakah sesuai namanya, isolasi mandiri memang harus benar-benar mandiri, dari biaya tes sampai obat-obatan? Tanpa ada pendampingan, apalagi kompensasi.
Pangeran Toba P Hasibuan
Sei Bengawan, Medan 20121
Riam
Dalam kolom advertorial (Kompas, 7/6/2021) PT Kayan Hydro Energy (KHE) dan Kompas memperlihatkan kecintaan pada bahasa Indonesia. Caranya dengan memberi padanan dalam bahasa Indonesia untuk istilah-istilah dalam bahasa Inggris.
Di antaranya green economy menjadi ekonomi hijau, green industrial park menjadi kawasan industri hijau, hydro power menjadi tenaga air, net zero emission menjadi netralitas karbon, dan water treatment system menjadi sistem pengolahan air.
Akan tetapi, masih ada istilah asing yang dibiarkan sebagaimana adanya meskipun sudah ditunjukkan bahwa itu adalah bahasa asing, dengan mencetak huruf miring.
Misalnya cascade, smelter, dan tenant. Saya tidak tahu apakah pemadanan kata smelter menjadi kilang (pe)lebur(an) tepat. Meski demikian, tentunya kata cascade bisa dipadankan dengan riam dan tenant dengan kata penyewa. Terasa ”pas”, bukan?
Jadi, ”PLTA Kayan Cascade” bisa dipadankan menjadi ”PLTA Riam Kayan”. Demikian juga ”PT Kayan Hydro-Energy” menjadi ”PT Tenaga Air Kayan”.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga
Hutan Jati
Kayu jati (Tectona grandis) merupakan salah satu jenis kayu dengan nilai ekonomis tinggi karena awet, kuat, dan memiliki tekstur yang indah.
Tidak semua daerah cocok ditumbuhi jati karena tanaman ini butuh habitat tanah kering dan berkapur, seperti pantai utara Jawa Tengah. Salah satu hutan jati yang melegenda adalah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu dan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Saya yang besar dan bersekolah di Cepu hingga lulus SMA (1967-1976) menyaksikan warisan Belanda yang hebat ini. Tampaknya Pemerintah Hindia Belanda, melalui ahli-ahlinya, telah memetakan wilayah Indonesia menjadi zona-zona komoditas pertanian, perkebunan, dan kehutanan berdasarkan agroklimat.
Misalnya, komoditas teh di daerah pegunungan, seperti Puncak di Bogor, Bumiayu di Tegal, dan Kayu Aro di Kerinci. Perkebunan karet di Sumut, Jabar, dan Bengkulu.
Saat berdinas di Kendari, Sultra (1996-1999), saya dapati di sebagian besar wilayah Pulau Muna, jati tumbuh subur. Tidak jauh beda dengan Cepu dan Randublatung.
Usut punya usut, ternyata hutan jati di Muna juga warisan Belanda. Pekerja didatangkan dari Blora dan sekitarnya. Jadi, tak semua warisan Hinda-Belanda buruk.