Tampaknya jalan panjang dan berliku masih harus ditempuh untuk implementasi atas keputusan G-7 karena ada syarat bagi pengenaan pajak atas keuntungan korporasi global. Meski demikian, keputusan G-7 layak disambut.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Menikmati pendapatan di seluruh dunia tanpa membayar pajak, itulah kenikmatan tiada tara yang dialami sejumlah korporasi global selama ini.
Bertahun-tahun banyak negara berjuang agar bisa memajaki korporasi global, seperti Amazon, Google, dan Facebook. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati termasuk di antara yang berjuang. Namun, bertahun-tahun pula upaya itu gagal.
Oleh karena itu, keputusan para menteri keuangan dan G-7 (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Kanada, dan Jepang) di London, Sabtu (5/6/2021), adalah terobosan besar. Komunike pejabat keuangan G-7 menyetujui pengenaan pajak atas laba korporasi global minimal 15 persen. Menkeu AS Janet Yellen menyebutnya sebagai langkah sangat berarti. Hal serupa dinyatakan pejabat keuangan G-7 lainnya.
AS di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden adalah juga yang memungkinkan kesepakatan ini terjadi. Hal ini mirip dengan pertemuan G-20 di era krisis keuangan AS 2009. AS di bawah Presiden Barack Obama bersama Kanselir Jerman Angela Merkel kala itu menyetujui penertiban perilaku lembaga keuangan global dunia, agar tak terlibat langkah penipuan yang merusak perekonomian global.
Keputusan para pejabat keuangan G-7 memiliki momentum yang pas. Akibat pandemi, sejumlah negara membutuhkan penerimaan ekstra untuk memperkuat stimulus ekonomi. Keputusan G-7 itu juga senada dengan tuntutan gerakan ”We are 98”, yang sekian lama menyerukan kesetaraan pendapatan yang telanjur begitu timpang di dunia.
Keputusan itu juga memutuskan bahwa ada atau tidak ada kantor perwakilan korporasi global tersebut di satu negara, korporasi itu harus dipajaki. Hal ini juga merupakan terobosan penting, sebab selama ini ada gugatan, bagaimana memajaki perusahaan yang tidak memiliki kantor perwakilan di negara tertentu. Jika korporasi global tersebut secara ekonomi digital bisa meraup untung dari layanannya di semua negara, korporasi itu tetap layak kena pajak.
Namun, keputusan itu baru sekadar komunike G-7. Kesepakatan ini masih akan dibawa ke forum G-20 dan kepada Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Banyak yang mengatakan tidak semua negara suaka pajak yang akan menyetujui, seperti Irlandia.
Keputusan para pejabat keuangan G-7 memiliki momentum yang pas. Akibat pandemi, sejumlah negara membutuhkan penerimaan ekstra untuk memperkuat stimulus ekonomi.
Tampaknya jalan panjang dan berliku masih harus ditempuh untuk implementasi atas keputusan G-7 itu karena ada syarat bagi pengenaan pajak atas keuntungan korporasi global tersebut. Hal itu adalah persentase keuntungan korporasi global itu, minimal 10 persen. Jika keuntungan tidak mencapai 10 persen, pajak tersebut tidak berlaku.
Guru Besar tamu Sekolah Manajemen Universitas Sheffield, Inggris, Richard Murphy, mengatakan, jika persyaratan untung 10 persen diterapkan, hal itu sangat tidak tepat (The Guardian, 6 Juni 2021). Sistem pelaporan keuangan bisa direkayasa agar keuntungan terlihat tidak mencapai 10 persen. Dengan begitu, ketentuan pajak itu tidak bisa diterapkan. Namun, keputusan G-7 layak disambut.