Pemerintah menegaskan bahwa posisi Indonesia untuk against adalah bukan terhadap konsep Responsibility to Protect (R2P), melainkan menolak dibentuknya mata agenda baru dalam Sidang Majelis Umum PBB.
Oleh
Polanco Surya Achri
·3 menit baca
Yang terhormat Redaksi Kompas, saya memberanikan diri menulis surat ini setelah membaca di Surat Kepada Redaksi bahwa pembaca boleh berkomentar banyak hal.
Akan tetapi, saya perlu minta maaf terlebih dulu karena saya bukan pembaca yang tekun dan baik. Saya tidak berlangganan, hanya membaca saat akhir pekan saja.
Saya ingin bertanya tentang ke mana perginya kolom puisi. Sudah lama saya menyimpan pertanyaan itu dalam hati sambil sesekali menduga-duga sendiri. Masih bisakah saya meminta agar kolom puisi kembali dibuka?
Apakah saya ingin agar puisi saya dimuat di sana? Mungkin iya. Namun, sesungguhnya, saya amat rindu membaca puisi-puisi di kolom tersebut dan mendiskusikannya dengan beberapa kawan.
Saya memang sering kesepian, merasa orang-orang semakin asing. Puisi menemani saya meski sering juga muncul pertanyaan, ”Siapa yang membutuhkan puisi?”
Saya paham, saya hanya seorang yang kesepian.
Polanco Surya Achri
Gendeng GK, Baciro Gondokusuman, Yogyakarta 55225
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas surat yang Saudara sampaikan. Kami mohon maaf saat ini tidak bisa mengakomodasi keinginan para pembaca dengan tiadanya rubrik-rubrik tertentu. Situasinya memang sedang tidak mudah, tetapi Kompas berupaya tetap menghadirkan berita-berita tepercaya dan menyuarakan amanat hati nurani rakyat.
Tanggapan Deplu
Saya merasa terpanggil mengomentari artikel opini Dr Sasmini (Kompas, 31/5/2021) berjudul ”Tanggung Jawab Negara Melindungi”.
Penting kiranya memahami konteks, argumen, dan fakta dalam proses voting agenda tersebut pada 18 Mei 2021 di Sidang Majelis Umum (SMU) PBB New York. Sangat disayangkan ada salah pengertian terhadap posisi Indonesia dalam voting itu.
Seperti disampaikan Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) New York, dalam siaran pers 22 Mei 2021—laman https://kemlu.go.id/newyork-un/en—perlu dipahami hal-hal prinsip berikut.
Resolusi A/75/L82 bersifat prosedural, bukan resolusi mengenai penolakan atau penerimaan negara terhadap konsep-konsep pencegahan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan sejenisnya.
Rancangan resolusi dibatasi pada: i) pembentukan mata agenda baru tahunan tentang Responsibility to Protect (R2P) dan ii) permintaan Sekjen PBB untuk menyampaikan laporan tahunan R2P ke SMU PBB.
Karena itu, isi resolusi prosedural sangat singkat. Adapun resolusi yang bersifat substantif akan secara rinci membahas konten.
Sebanyak 78 negara (40 persen) dari 193 negara anggota PBB belum mendukung,
baik karena alasan penolakan, abstain, maupun tidak memilih sama sekali. Sisanya, 115 negara (60 persen) mendukung dijadikannya R2P sebagai agenda tetap yang dipisahkan dari mata agenda Follow Up to the Outcome of Millennium Summit-2005. Hal ini mencerminkan belum ada konsensus terhadap usulan menjadikan pembahasan R2P sebagai agenda permanen dan terpisah.
Pemerintah menegaskan bahwa posisi Indonesia untuk against adalah bukan terhadap konsep R2P, melainkan menolak dibentuknya mata agenda baru dalam SMU PBB.
Indonesia mendukung penuh gagasan R2P sebagaimana tertulis di Resolusi SMU PBB 60/1. Dukungan dilakukan pada level tertinggi dengan mendukung Resolusi SMU PBB 60/1 yang diadopsi secara konsensus pada tahun 2005. Sejak itu, Indonesia konsisten terlibat dalam pembahasan R2P.
Dengan demikian, tidak ada yang berubah dalam komitmen Indonesia terhadap prinsip pencegahan empat kejahatan kemanusiaan yang paling keji (genosida, pembersihan etnis, serta kejahatan kemanusiaan dan perang).
Di dalam negeri, hal ini tampak jelas dalam penguatan kapasitas negara melalui pembentukan Komnas HAM, UU HAM, dan UU Pengadilan HAM, serta pengikatan diri melalui ratifikasi pada instrumen-instrumen utama HAM internasional.