Sumber kehancuran republik ini adalah korupsi. Oleh karena itu, arus politik yang mewarnai keputusan MK merupakan paradoks semangat kita dalam memberantas korupsi.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·3 menit baca
Setelah keluar keputusan MK tentang UU Revisi mengenai KPK, muncul berbagai pendapat. Beberapa bahasan mencerminkan pesimisme akan peran KPK sekarang.
Korupsi bukanlah hal yang sepele, berpotensi menghancurkan tatanan dan berdampak buruk pada negara. Saya mulai dengan pernyataan Ibu Menteri Keuangan yang andal, Sri Mulyani: ”Korupsi adalah penghancuran keberadaan negara dari dalam.”
Hal serupa pernah disitir Ali Sadikin bahwa sumber kehancuran republik ini adalah korupsi. Oleh karena itu, arus politik yang mewarnai keputusan MK merupakan paradoks semangat kita dalam memberantas korupsi.
Tulisan Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum dari UGM, Kompas (8/5/2021), terlalu bagus untuk dilewatkan. Dia menyarikan persoalan KPK dan jelas menyikapinya.
”Membaca saksama putusan MK tentang pengujian formil dan materiil terhadap UU KPK hasil revisi terasa seperti menyaksikan ’sentuhan akhir’ suatu kejahatan sempurna (perfect crime). Dilakukan dengan semacam hyper-criminality dalam bahasa sosiolog Jean Baudrillard, tatkala kejahatan itu disusun sedemikian rupa, dikontrol oleh kekuasaan besar dengan manajemen kejahatan yang canggih dan permainan politik tingkat tinggi. Mahkamah Konstitusi (MK) menyempurnakannya melampaui hukum, moralitas, kemampuan akal sehat...”.
Putusan MK tentu tak bisa dibaca terpisah dari posisi DPR dan Presiden dalam legislasi revisi tersebut. Semua terasa seperti orkestrasi. ”KPK boleh hidup, tapi pemberantasan korupsi harus mati”.
Suatu tragedi dan antiklimaks dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri tercinta. Pembenaran postulasi Dominic Mele, peneliti korupsi, bahwa di Indonesia, budaya korupsi sudah merupakan keterkaitan personal, kultural, institusional, dan organisasional.
Pertanyaannya, ”Apakah kemauan politik dalam memberantas korupsi cukup kuat?” Kalau tidak, ini ibarat menciptakan masalah yang menghambat keberhasilan program kerja Kabinet Indonesia Maju.
Kajian Zainal Arifin Mochtar paling dapat diterima mengenai situasi ini. Menyepelekan masalah korupsi adalah kekeliruan besar. Sungguh tragedi bagi bangsa.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Jakarta Selatan, 12970
Korupsi Politik?
Mungkinkah pimpinan KPK melakukan korupsi politik pada asas-asas keterbukaan informasi publik?
Menurut buku panduan kuliah kerja nyata pemberdayaan hukum masyarakat pengguna pengadilan, ada sembilan jenis kejahatan/tipe korupsi.
Di antaranya illegal corruption, yakni korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau disinterpretasi. Tipe ini rawan dilakukan aparat hukum: polisi, jaksa, pengacara, atau hakim.
Ada juga political corruption berupa penyelewengan kewenangan yang dimiliki untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok.
Hal di atas dapat diasumsikan melanggar Pasal 18b (UU Keterbukaan Informasi Publik No 14/2008 dan perubahannya), bahwa ada informasi yang tidak termasuk kategori informasi yang dikecualikan seperti keputusan, peraturan, surat edaran, bentuk kebijakan lain, dan seterusnya.
Pasal 11 huruf a menyatakan, daftar seluruh informasi publik yang berada di bawah penguasaan badan publik tidak termasuk informasi yang dikecualikan.
Kemudian menurut Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
Sepertinya, jejak proses revisi UU KPK cenderung dipaksakan sepihak, hanya sekitar 14 hari revisi tersebut dapat diundangkan.
Asumsi-asumsi di atas seperti tidak saling menyambung, tetapi bisa jadi berkaitan dengan kondisi KPK saat ini.