Tahun ini kali kedua peringatan Waisak nasional di Candi Borobudur ditiadakan karena pandemi Covid-19. Toh, dalam kesederhanaan, kekhidmatan Waisak tak surut.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Di Candi Borobudur, umat Buddha tetap menjalankan upacara puja bakti upasata mandala, dengan hanya diikuti puluhan warga. Setelah puja bakti dilanjutkan dengan pradaksina, yakni tiga kali mengelilingi Candi Borobudur.
Bhante Ditthi Sampano dari Sangha Agung Indonesia menyatakan, Waisak 2565 BE dijalankan dengan protokol kesehatan, sesuai imbauan pemerintah. Umat Buddha yang biasanya berkumpul hingga puluhan ribu di Candi Borobudur, sebagai pusat peringatan Waisak nasional, kali ini tak terlihat. Lebih kurang mirip dengan suasana 2020.
Meski harus disesuaikan karena pandemi, gereget dan kekhidmatan Waisak terekam di berbagai wilayah. Di Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, warga menggelar arak-arakan patung Sang Buddha menuju beberapa tempat yang disucikan. Mereka mengenakan pakaian tradisional sebagai bagian dari akulturasi budaya yang turun-temurun.
Geliat serupa terpantau di Mahavihara Buddhamanggala, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, serta di Metta Vihara, Kota Tegal, Jateng. Adapun di Jakarta, peringatan berlangsung secara hibrida di JiExpo Kemayoran, dihadiri Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan serta perwakilan pemerintah pusat, termasuk Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Hartati Murdaya dan sejumlah komunitas Buddha (Kompas, 26/5/2021).
Bhikkhu Sri Subhapannyo, Mahathera, melalui artikel Renungan Waisak di harian ini, Selasa (25/5/2021), menyampaikan, dalam peringatan Waisak, yang terutama harus dihayati dan dilakukan adalah mengembangkan pikiran cinta kasih tanpa batas.
Menurut Bhikkhu Sri Subhapannyo, cinta kasih mengandung pengertian ”sesuatu yang melembutkan hati”, mengalahkan segala kekerasan dan kebencian. Ia muncul sebagai dorongan atau niat yang mengharapkan kebahagiaan dan mengusahakan kesejahteraan bagi semua makhluk.
Cinta kasih tidak dilandasi nafsu, tidak memihak atau pilih kasih, tidak membedakan ikatan keluarga, ras, bangsa, agama, politik, status sosial, dan budaya. Dengan cinta kasih itu, seseorang mempersatukan diri atau tidak membedakan diri sendiri dari makhluk lain. Ego atau ”aku” lebur dalam keseluruhan, bagai setetes air memasuki lautan.
Pesan itu sungguh gamblang, bahwa esensi peringatan Waisak, begitu pula hari-hari besar agama lainnya, adalah pada perubahan sikap diri kita. Sejauh mana kita bisa mengubah perilaku hidup kita setelah peringatan ini. Apa gunanya memperingati, apalagi dengan ingar-bingar atau pesta pora, jika secara esensi tidak diikuti perubahan perilaku?
Singkat kata, tidak masalah peringatan Waisak berlangsung di tengah kesederhanaan, tanpa massa hingga puluhan ribu seperti biasanya, asal umat benar-benar menghayati semangat cinta kasih tanpa batas.