Bagi saya, SKB Tiga Menteri merupakan siratan keinginan anak bangsa yang kuat untuk menjadi Indonesia, menyatukan tafsir Pancasila tentang kebersamaan, mengakui tanpa menegaskan perbedaan ataupun memaksakan kehendak.
Oleh
Yes Sugimo
·6 menit baca
Pendidikan merupakan roh bagi pembentukan karakter individu, dan itu dimulai dari kanak-kanak. Kesesuaian antara ucapan dan perilaku, apalagi komunitas di lembaga pendidikan menjadi teladan nyata anak-anak. Namun, kalau Peta Jalan Pendidikan Indonesia tidak jelas, siswa selaku pengguna jalan pendidikan mereka akan menemui hambatan, atau terjerumus.
Sejak merdeka 75 tahun lalu, konsep pendidikan cukup banyak karena tiap ganti menteri (pejabat) ganti kebijakan. Mungkin ini tak lepas dari karakter orang Indonesia yang ingin menonjol dari orang lain, yaitu membuat terobosan baru meski tidak signifikan dan enggan melanjutkan program bagus dari pejabat sebelumnya.
Contoh sederhana adalah istilah sekolah yang berubah-ubah. SLP, SMP, SLTP, SLA, SLTA, SMA, SMEA, SPG, SMIP, STM, SPBMA, SMK Rumpun Bisnis, Elektronik, Tata Boga, Tata Busana. Gelar akademik pun berubah meski disiplin ilmu sama: Ir, ST, Ars, Drs, Dra, SPd.
Lembaga induk pendidikan dulu disebut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional, terakhir digabung dengan Pendidikan Tinggi dan Kementerian Riset dan Teknologi. Namun, selalu ada ketimpangan pendidikan dengan dunia kerja meski kurikulum sering ganti.
Berbagai konsep itu merupakan refleksi bahwa bangsa Indonesia senang berwacana, tetapi minim aplikasi. Atau kebijakan dibuat untuk jangka pendek, sekadar memenuhi janji politik. Semua kebijakan sarat nuansa politik dan ekonomi dibalut atas nama kepentingan rakyat.
Pemerintahan saat ini sesuai konstitusi berakhir 2024. Elite politik 2025 yang mengurus bidang pendidikan daripada mengorbitkan konsep baru, lebih baik melanjutkan konsep lama yang relevan. Atau merancang konsep baru, tetapi mengakomodasi kebutuhan anak didik hingga seratus tahun, meski itu tidak bisa instan menghilangkan ego sektoral.
Elite berikutnya sebaiknya konsisten melanjutkan konsep sebelumnya tanpa ambisi ingin jadi pahlawan kesiangan. Terima kasih Pak Yudi Latif dalam opini ”Rezim Pendidikan dan Penelitian” (Kompas, 3/5/2021), begitulah potret dunia pendidikan Indonesia dari masa ke masa.
Yes Sugimo
Jl Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung 40616
Menjadi Indonesia
Kompas
Deklarasi Seruan Perdamaian - Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menunjukkan surat Deklarasi Seruan Perdamaian saat Halaqoh Kebangsaan di Jakarta, Rabu (26/8). Halaqoh Kebangsaan dengan tema "Pancasila Rumah Kita: Perbedaan Adalah Rahmat" tersebut dilaksanakan sebagai wujud komitmen NU dalam mengawal keragaman di Indonesia untuk tujuan terjaganya persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hadir dalam acara tersebut (kiri ke kanan) Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Bhiksu YM Dutavira Mahastavira, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Albertus Patty dan Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Edy Purwanto.Kompas/Alif Ichwan26-08-2015
Kompas, 7 Mei 2021, dalam rubrik Humaniora, mengangkat berita pembatalan SKB Tiga Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama) oleh Mahkamah Agung. SKB ini tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah, yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Dinyatakan bahwa SKB ini tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Perkara ini diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, Sumatera Barat.
Pihak Kemendikbud Ristek menyatakan berkomitmen menumbuhkan dan menjaga semangat kebinekaan, toleransi, dan moderasi beragama; selain juga memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga pendidikan dalam mengekspresikan kepercayaan dan keyakinan di sekolah negeri.
Tidak boleh ada paksaan kepada warga sekolah untuk menggunakan seragam khas agama tertentu karena hal itu terkait dengan hak individu, bukan keputusan sekolah.
Pihak Kementerian Agama menegaskan, seyogianya agama bukan menjadi justifikasi untuk bersikap tidak adil kepada orang lain yang berbeda agama. Dinyatakan pula bahwa lahirnya SKB Tiga Menteri ini merupakan upaya mencari titik persamaan dari perbedaan yang ada di masyarakat, bukan memaksakan supaya sama. Setiap umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, bukan hanya simbolik.
Di sisi lain, seorang Guru Besar Ilmu Filsafat UIN Kalijaga di Yogyakarta menyatakan, sekolah dan masyarakat perlu merenungkan bersama cara untuk bisa menumbuhkan toleransi, sampai tersentuh hatinya.
Setiap anak didik dan warga masyarakat harus bisa saling membuka diri dan bekerja sama. Sementara, kalau tak salah, pihak masyarakat lokal menegaskan bahwa apa yang dilakukan selama ini di negeri itu adalah refleksi dari tradisi yang melekat pada kehidupan masyarakat Minangkabau dan ”tidak ada unsur paksaan”.
Menurut pihak Mahkamah Agung, SKB tersebut bertentangan dengan sejumlah pasal UU Pemerintahan Daerah, UU Perlindungan Anak, dan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Saya tidak ingin memperdebatkan hal di atas ini. Pasti ruwet! Saya tidak memiliki kompetensi di bidang agama, hukum, politik, ilmu sosial, pendidikan. Saya hanya rakyat biasa yang syukur alhamdulillah diberkahi Tuhan dengan rasa ingin tahu tentang berbagai macam hal di sekitar saya dan dibekali keinginan untuk hidup bersama secara harmonis.
Bagi saya, peristiwa yang terjadi di atas ini mencerminkan bahwa kita, sebagai bagian dari satu bangsa yang sama, belum memiliki kesamaan pandang tentang makna kehidupan bersama. Selalu ada saja pihak-pihak yang tak ingin berpikiran sejalan, ingin tampil beda dan bahkan bersikukuh mempertahankan perbedaan itu.
Keberagaman adalah kekhasan kita! Sudah ditetapkan sejak dulu kala! Tak bisa diubah sekalipun itu untuk kepentingan bersama di masa kini.
Saya keturunan orang Minang. Rumah nenek dan inyik saya hingga kini masih tegak di kampung halaman. Saya juga keturunan etnik Bengkulu. Lahir dan dibesarkan di Pulau Jawa oleh orangtua yang kedua-duanya lahir di Kalimantan Barat. Mereka, selama di sana, bahkan pernah diasuh oleh orang-orang dari etnik Jawa, Dayak, dan Banjar.
Terus terang saya baru tahu sekarang bahwa ada Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, yang bisa menentukan dan memengaruhi macam-macam hal dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Saya selama ini berpikir bahwa orang Minang itu orang yang ”merdeka”, berpikiran dan berpandangan luas, tak terikat oleh ketentuan-ketentuan adat yang mengikat. Bukankah hal itu yang dulu membuat orang Minang bisa ada dan menempatkan diri di mana-mana dan tampil sebagai orang-orang ”pandai” di negeri ini?
Mungkin saya memang tidak mau tahu tentang adat istiadat etnik yang berlaku karena saya bagian dari bangsa Indonesia.
Dalam hal ini, saya teringat pesan almarhum ayah saya, ketika kami kembali ke Surabaya dari pengungsian di Malang, sewaktu agresi Belanda. ”Tidak usah belajar bahasa Minang. Jadilah orang Indonesia!”
Menjadi Indonesia! Rupa-rupanya menjadi Indonesia ini bukanlah suatu hal yang mudah meskipun kita telah merdeka lebih dari 75 tahun.
Bagi saya, SKB Tiga Menteri merupakan siratan keinginan anak bangsa yang kuat untuk menjadi Indonesia, menyatukan tafsir Pancasila tentang kebersamaan, mengakui tanpa menegaskan perbedaan ataupun memaksakan kehendak.
Perbedaan adalah niscaya, tetapi kita dapat menemukan titik kesamaan yang memungkinkan kita bergerak dan berjalan bersama secara padu.
Sayang hal itu masih belum dapat diterapkan karena masih ada saja pihak yang enggan untuk berjalan seiringan, bertindak seirama, dan bahkan menentangnya. Agaknya kita masih ”menjadi” (becoming). Entah sampai kapan.
Saya membaca Kompas sejak tahun 1990-an, baik secara berlangganan maupun eceran. Kalau ada uang, saya berlangganan; lagi ”berat”, ya beli eceran.
Di masa lalu, Kompas pernah beberapa kali terbit edisi khusus 100 halaman. Edisi reguler pun minimal 44 halaman. Kangen saya dengan Kompas yang gemuk. Artikel beraneka dan iklan banyak. Tidak kurus 16 halaman seperti sekarang.
Ternyata membaca dan menonton iklan sangat dibutuhkan setelah membaca artikel berat.
Saya memahami zaman sudah berbeda. Anak muda sekarang lebih suka membaca di gawai. Saya sudah tua, ”oversek” alias lebih dari 50 tahun, lebih nyaman membaca koran fisik. Tetapi, tinggal beberapa orang yang seperti saya.
Teruslah terbit dan berkibar. Unek-unek saya sampaikan karena saya cinta Kompas.
Sekalian mumpung suasana Lebaran, saya ucapkan ”Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin kepada redaksi dan pembaca Kompas”.