Sudah lebih dari setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Meskipun pada periode Februari-April 2021 tercatat ada penurunan jumlah kasus baru, varian baru SARS-CoV-2 perlu diwaspadai karena sudah masuk Indonesia dan sudah terjadi transmisi lokal.
Lebaran sudah berlalu. Meski pemerintah menerapkan kebijakan larangan mudik, masih banyak masyarakat yang melanggar. Ribuan kendaraan, baik sepeda motor, mobil berpenumpang, maupun kendaraan barang, diminta putar balik kembali ke tempat awal keberangkatan. Namun, banyak yang lolos dan menyebar ke pelbagai daerah.
Pemerintah perlu menganalisis mengapa masih banyak warga masyarakat yang nekat mudik seolah tidak peduli wabah Covid-19. Sosialisasi tentang Covid-19 dan dampaknya agaknya perlu dilakukan lebih masif dan sistematis. Selama ini pemerintah lebih mengutamakan informasi statistik semata. Saya pernah menyampaikan saran melalui rubrik ini (Kompas, 16/9/2020) agar mengajak mereka yang sudah sembuh menceritakan pengalamannya menghadapi Covid-19.
Bisa jadi, ketidakpedulian masyarakat terhadap larangan mudik merupakan ”pemberontakan” atas kebijakan yang mereka nilai diskriminatif. Warga negara asing yang masuk melalui bandara dan saat tes Covid-19 ternyata positif, tidak dipulangkan ke negara asal. Mereka hanya diminta karantina di Indonesia. Bandingkan dengan masyarakat yang meskipun hasil tesnya negatif, tetap tidak diizinkan mudik.
Pemerintah perlu lebih komunikatif lagi dalam menginformasikan langkah pencegahan ataupun penanganan Covid-19 selama setahun ini. Kompas pernah mengulas melalui edisi khusus setahun setelah Covid-19, tetapi belum menyentuh keingintahuan masyarakat.
Banyak yang ingin tahu lebih detail, misalnya, berapa persen pasien komorbid yang sembuh? Berapa persen yang meninggal karena komorbid? Bagaimana proses pengobatan hingga pasien sembuh? Apakah setelah vaksinasi seseorang masih bisa tertular? Dan, seterusnya.
Saya juga menyarankan agar kebijakan sekolah tatap muka bulan Juli ke depan dipertimbangkan lagi, termasuk kerumunan di terminal dan angkutan umum.
Mari belajar dari India, jangan menyesal kemudian.
Pangeran Toba P Hasibuan
Sei Bengawan, Medan, 20121
Mudik
Meski Lebaran sudah lewat, arus mudik masih berlanjut. Pemerintah memang menerapkan larangan mudik untuk mencegah penularan Covid-19, tetapi pelanggaran banyak terjadi.
Ini untuk kedua kalinya pemerintah menerapkan kebijakan larangan mudik karena pandemi belum berakhir. Pemerintah terpaksa tega dan tegas agar angka kasus positif tidak meledak seperti India.
Di India, tidak adanya antisipasi saat ada acara keagamaan dengan berkumpul secara masif membuat lonjakan kasus luar biasa.
Larangan mudik butuh ketegaan dan ketegasan. Rasa kangen pasti ada bagi setiap orang karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial (zoonpoliticon).
Namun, demi kepentingan yang lebih besar, kita wajib menaati serta mendukung program pemerintah. Yang masih di rantau sebaiknya memupus kekangenan dengan teknologi komunikasi yang kini banyak tersedia.
Meski Lebaran telah lewat, pemerintah dan petugas di lapangan sebaiknya tetap waspada, konsisten, dan tegas pula dalam menerapkan kebijakan larangan mudik.
Di sisi lain, masyarakat sebaiknya juga mengutamakan kepentingan lebih besar, dengan tidak bersikap egois.
Sanksi bagi pelanggar tanpa pandang bulu menjadi harapan setiap insan yang ingin ”berumur panjang”. Begitu pula bagi aparatur sipil negara yang tetap ngeyel mudik dan mangkir, beri sanksi tegas.
Hanya dengan kerja sama pemerintah dan masyarakat, pandemi bisa segera selesai.
FX Triyas Hadi Prihantoro
Guru SMP PL Domsav, Semarang