Pelajaran Pertama ”Si Penyair Rindu”
Pertemuan saya dengan perempuan berambut panjang itu menjadi semacam absurditas yang mendorong saya mengejar pengalaman empirik.
Guru saya pernah mendadak minta saya ke depan kelas. Ia lalu menyodorkan kata ”rindu”, karena katanya cocok dengan saya. Secara diam-diam, ia sering memergoki saya sedang melempar-lemparkan sobekan kertas kepada para siswa perempuan. Katanya, ini jadi semacam pelolosan dari hukuman yang seharusnya saya terima, seperti menghadap ke ruang guru BP.
Pada tahun 1980-an sampai 1990-an, dipanggil menghadap guru BP (bimbingan dan penyuluhan) itu berarti hukuman. Siswa yang dipanggil lalu dicap siswa nakal atau bandel, sudah tidak mempan lagi dibimbing oleh wali kelas.
Jadi, saya pikir saya beruntung ”dihukum” maju ke depan kelas.
”Coba buat surat dengan ’kata rindu’. Umpamakan kamu sedang mengatakan rindu kepada siswi paling cantik di kelas ini,” kata guru saya.
Sudah pasti semua mata teman-teman sekelas tertuju kepada saya. Dalam benak mereka, mungkin ini hukuman yang setimpal dengan perbuatan saya, yang suka menuliskan kata-kata ”rayuan” kepada para siswi.
”Ayo mulai dari kata ’rindu’ itu,” kata guru saya lagi.
Saya pikir saya sedang dipermalukan. Oleh karena itu, saya bertekad untuk membuat kalimat-kalimat ”rayuan” dengan kata ”rindu” tergombal yang belum pernah dituliskan para penyair. Begitulah tekad remaja tanggung yang duduk di kelas II SMP, waktu itu.
”Seperti hamparan rumput kering di tanah gersang yang mengharap setetes hujan, rinduku tertatih-tatih selalu kepadamu….” Saya ucapkan itu seperti sedang berdeklamasi. Kata-kata itu meluncur begitu saja, karena memang sejatinya saya sering melihat rumput yang mengering di musim kemarau di persawahan.
Lalu, saya berhenti sambil memandang seorang gadis yang duduk di bangku depan paling kanan. Ia menunduk. Saya pikir dialah gadis tercantik di seluruh kelas angkatan kami.
Tiba-tiba, guru itu berkata lagi, ”Teruskan, masa cuma rindu yang tertatih-tatih….”
”Benar, cuma kepadamu. Kadang jari-jari ini gemetar dan selalu menulis ’aku rindu padamu’ di secarik kertas sobek,” kata saya lagi. Bukankah itu juga saya lakukan hampir setiap saat di dalam kelas?
Dalam sekejap seisi kelas jadi riuh. Beberapa teman saya bahkan tertawa terbahak-bahak mendengarkan kepongahan saya di depan kelas. Guru kami, kalau tidak salah ingat, namanya Pak Soekarno, meminta seluruh kelas untuk tenang.
”Nah, kalau begini, kan, jadi lebih jujur. Kalau memang rindu, katakan saja terus terang. Jangan sembunyi-sembunyi dalam secarik kertas. Semoga benar ada yang dirindukan Putu di kelas ini,” katanya.
Sejak peristiwa itu, saya mendapat panggilan baru: ”Si Penyair Rindu”. Dalam beberapa kesempatan, walau Pak Soekarno tidak mengajar kami, teman-teman meminta saya maju ke depan kelas, lalu melantunkan kata-kata ”rayuan”. Anehnya, sering kali saya menuruti permintaan itu. Meski begitu, sampai sejauh ini rasanya, tak seorang pun jatuh cinta kepada saya.
Baca juga: Puisi dalam Tiga Langkah
Entahlah, saya tidak pernah bercita-cita menjadi penyair. Jika kata-kata yang saya tulis dalam sesobek kertas bisa dianggap puisi, waduh, betapa mudahnya menjadi penyair. Waktu itu, saya cuma punya referensi tentang kata ”syair” yang hampir selalu identik dengan kode togel atau loto gelap. Banyak orang tua, termasuk Bapak, suka sekali memecahkan teka-teki dalam selembar syair yang diedarkan para pengepul togel.
Mungkin kau ingat, misalnya ada syair yang berbunyi://Ke pasar malam bareng pacar/sambil makan sop kambing/rasanya enak tiada tara/banyak cowok suka menggoda//. Bisa pula syairnya berbunyi begini://Cabe rawit cabe setan/Dimasak menjadi bumbu-bumbu/Bumi terbelah menjadi lautan/Sebesar itu cintaku padamu//.
Biasanya, para ”pesyair” perlu melengkapi diri dengan sebuah buku kecil yang berisi gambar-gambar lengkap dengan nomornya. Buku itu berjudul 1000 Tafsir Mimpi, yang diperlakukan ibarat ”kitab suci” oleh para ”pesyair”. Kalimat-kalimat yang ditulis dalam syair dikupas satu per satu, lalu dicarikan referensinya di dalam buku kecil dan tebal itu. Misalnya, kata ”pasar malam” dan ”pacar” itu dicarikan nomornya, ”pasar malam” diberi nomor 90 dan ”pacar” nomor 39. Berdasarkan dua angka ini, para ”pesyair” menjumlahkan atau menguranginya, sangat tergantung dari kalimat-kalimat ”syair” berikutnya, yang katanya bisa menjadi kunci angka tebakan tepat.
Nah, itulah referensi saya di masa remaja dulu tentang kata ”syair”. Karena masih remaja tanggung, saya tak pernah diizinkan untuk turut urun rembuk memecahkan teka-teki dalam syair yang disodorkan para cukong. Meskipun begitu, Bapak tak pernah melarang saya bermimpi. Bahkan setiap pagi acap kali dia bertanya,”Semalam mimpi apa? Mimpi apa?” Kalau saya jawab, ”Tidak bermimpi”, Bapak dengan setengah memaksa bilang, ”Lho, kok, enggak mimpi, kamu tuh harusnya mimpi….”
Baca juga: Kisah yang Tak Betah Jadi Kata-kata
Pengalaman diminta ke depan kelas oleh Pak Soekarno saya simpan baik-baik. Suatu siang, sebagai pengangon bebek, saya istirahat di sebuah dangau di tepi rawa-rawa di selatan desa kami. Bapak sedang pulang, katanya untuk mengambil sisa jagung makanan bebek-bebek kami. Semilir angin yang menerpa sekujur tubuh membawa kantuk. Saya rebahkan saja tubuh di balai-balai dangau dengan wajah menghadap sawah agar leluasa mengawasi bebek-bebek mencari makan.
Tak berapa lama, saya lihat seorang perempuan menyusur pematang sawah dari arah pohon buyuk di tepi rawa. Rambutnya panjang, mengenakan kain dan mungkin pakaian sejenis kebaya. Saya jelas melihatnya, ia mengarah ke dangau di mana saya sedang tidur.
”Hai, enggak baik tidur ketika sedang menjaga bebek. Gimana kalau saya ajak main ke rawa-rawa,” katanya.
”Main apa di rawa?” tanya saya.
”Kamu bisa mencari kerang atau kepiting.”
”Bebek saya enggak ada yang jaga.”
”Ah, itu soal mudah, saya pastikan bebek-bebekmu tak akan ke mana-mana.”
Begitu saja kami berjalan menyusur pematang. Kami melewati beberapa kubangan air di sekitar rumpun pohon buyuk. Terkadang pula terdapat tambak-tambak udang di lahan pasang surut. Kami menyusup di bawah buyuk sampai agak jauh. Mungkin sudah melewati pohon kendal besar yang menjulang tinggi, di mana biasanya burung-burung punai bersarang.
”Coba kamu lihat, di sekitar akar pohon buyuk ini ada lumpur-lumpur yang terlihat halus. Kamu tinggal goreskan ujung sabit seperti sedang membuat sayatan. Jika seperti terantuk batu, berarti kamu beruntung…,” katanya, menerangkan.
Entah dari mana, tiba-tiba tangan saya telah menggenggam sebilah sabit. Kemudian saya lakukan apa yang telah perempuan itu ajarkan. Benar saja, kira-kira dalam tiga-empat kali goresan, saya merasakan sabit terantuk batu, dan itulah kemudian yang disebut dengan kerang toktok. Dalam 30 menit, saya sudah mendapatkan kira-kira 10 ekor kerang sebesar genggaman tangan Bapak.
”Satu lagi katanya, kalau nanti kamu melihat lubang yang agak pipih, dan di dalamnya seperti tergenang air, itu rumah kepiting rawa paling enak. Kamu bisa menyodokkan tanganmu ke dalam lubang, kepiting tak akan mencapit di dalam lubang….”
Saya pikir ini pelajaran paling penting bagi seorang remaja tanggung seperti saya. Ketika ingin menanyakan nama perempuan itu, tiba-tiba saya terbangun dengan tangan yang masih berlepotan lumpur. Di samping saya tergeletak dua buah kisa, wadah dari anyaman daun buyuk, yang penuh berisi kerang dan kepiting.
Benar juga adanya, bebek-bebek saya dengan tenang tetap mencari makan di sawah yang baru saja dipanen. Tak ada kejadian yang bisa membuat Bapak marah.
”Mengapa bisa dapat banyak? Kamu pasti masuk jauh ke dalam rawa?” tanya Bapak ketika melihat dua kisa penuh kerang dan kepiting.
”Mmm…mungkin,” kata saya. Saya ragu untuk menceritakan apa yang tadi diajarkan oleh perempuan itu.
”Lumayan, ini bisa kita jual sebagian, terlalu banyak,” kata Bapak.
Saya merasa beruntung, ia tak mengusut bagaimana saya bisa mendapatkan makanan yang terkenal sulit dicari dan berharga lumayan mahal itu. Ketika tiba di rumah, Bapak malah dengan bangga bercerita kepada Ibu, bahwa saya semakin bisa dihandalkan.
”Kalau biasanya dia bawa belut, sekarang sudah kerang dan kepiting,” kata Bapak kepada Ibu.
Ibu cuma terlihat senang. Saya menangkap kesan, ia tak percaya. Mungkin dalam hati ia berkata, ”Ah, paling Bapak juga yang mendapatkan kerang dan kepiting sebanyak itu.”
Baca juga: Menanam Benih Keindahan
Terus terang, pada hari-hari berikut, dua peristiwa itu berjalan begitu saja. Sesekali memang berulang dan saya bertemu perempuan itu lagi. Terkadang, ia mengajak saya tamasya berkeliling ke kota-kota yang jauh yang belum pernah saya kunjungi. Terkadang juga cuma bermain lompat di sungai-sungai kecil di sekitar rawa.
Pada hari-hari ini, ketika saya merenungkan ulang dua peristiwa itu, saya berpendapat bahwa syair selalu tercipta dari tautan kreativitas dan imajinasi. Kreativitas akan selalu hadir seperti tungku dari batu bata untuk mengolah dan meramu imajinasi, sampai kemudian terlahir berupa syair.
Kenakalan saya melemparkan sobekan kertas berisi kata-kata rayuan kepada para gadis menjadi semacam kreativitas yang didorong oleh imajinasi tentang kecantikan perempuan. Sementara itu, salah satu karakter imajinasi terkadang memasuki wilayah absurditas, yang tak mudah dicerna akal-budi. Pertemuan saya dengan perempuan berambut panjang itu menjadi semacam absurditas yang mendorong saya mengejar pengalaman empirik. Betapa pun bersentuhan langsung dengan peristiwa akan jauh lebih mengesankan, karena ia akan berubah menjadi penghayatan yang subtil atas peristiwa.
Syair-syair yang ditulis oleh para cukong togel sudah barang tentu berbeda. Ia berangkat dari seperangkat permainan kode, yang diarahkan menjadi teka-teki, di mana para pengupasnya harus memakai acuan sebuah ”kitab suci” bernama ”1000 Tafsir Mimpi”. Syair dalam puisi tak sama dengan kupasan buku tadi. Seorang pembaca, termasuk pengkaji, minimal memiliki referensi pengalaman yang setara agar bisa memasuki alam kreativitas dan imajinasi seorang penyair. Tak ada referensi yang dimonopoli seperti dilakukan oleh ”kitab suci” togel itu.
Puisi selalu multi-interpretable dan oleh karena itu ia selalu kaya dan menantang untuk dijelajah. Mengupas puisi, mungkin juga seperti menggores-gores tanah dengan sabit untuk menemukan ”harta” terindah di dalamnya. Sabitmu bisa seketika terantuk ”harta” jika sensitivitasmu terlatih untuk melihat tanah-tanah lumpur yang halus di sekitar kubangan. Jika suatu hari kau memasukkan tangan ke dalam lubang, pastikan itu permukaan yang memipih. Jika ia membulat agak berbahaya, bisa jadi dihuni oleh sekawanan ular yang menunggu mangsa.
Baca juga: Kelepak Kata di Sayap Sapardi