Menguak Fenomena #gerakanmutemassal di Tengah Piala Menpora
Tagar #GerakanMuteMassal di tengah kejuaraan Piala Menpora 2021 menyiratkan kejenuhan di sebagian pemirsa siaran langsung sepak bola kita terhadap pernyataan presenter yang dinilai berlebihan. Mengapa bisa terjadi?
Protes warganet terhadap presenter sepak bola kita, yang diwujudkan dalam tagar #gerakanmutemassal, menonton siaran langsung Piala Menpora tanpa suara, menjadi representasi betapa publik haus tontonan berkualitas. Baik mutu pertandingannya, maupun komentar yang mengiringi sepanjang laga.
Sebenarnya sudah beberapa tahun terakhir pencinta sepak bola Indonesia ”dipaksa” menerima, atau beradaptasi dengan penuturan presenter, dan mungkin pula sebagian komentator, yang terkesan berlebihan. Hiperbolis. Dalam istilah kekinian: lebai.
Protes massal lewat #gerakanmutemassal bergulir dalam skala yang luas di tengah perhelatan Piala Menpora, yang berakhir 25 April lalu, dengan Persija tampil sebagai juara. Akun ”Serie A Lawas” mengirim postingan di Twitter dengan kalimat ”Semoga @indosiar @PSSI mendengar segala keresahan sebagian besar pencinta bola di Indonesia”. Status itu disertai ilustrasi Gerakan Mute Massal, diikuti keterangan ”Karena sejatinya penikmat sepak bola juga butuh edukasi, bukan pendengar teriakan yang menimbulkan polusi”.
Bagaimana respons warganet? Seperti biasa, publik terbelah. Sebagian mendukung, sebagian lain mengkritisi, persis seperti aspirasi ”Serie A Lawas”. Mereka yang mendukung berpendapat, penonton siaran langsung sepak bola kita memang perlu hiburan. Jadi, tidak masalah ada kalimat-kalimat hiperbolis, karena tidak semua pemirsa ingin materi-materi edukatif.
Sebaliknya, yang sepakat dengan ”Serie A Lawas” menilai pemirsa sepak bola perlu materi-materi edukasi, dan salah satunya bisa dari presenter, sportcaster, ataupun komentator. Harapan semacam ini wajar karena televisi sebagai salah satu media massa juga mengemban fungsi pers. Salah satu fungsi pers tak lain adalah mendidik.
Baca juga : Pembuktian dari Piala Menpora
Primadona siaran langsung
Sudah puluhan tahun siaran langsung pertandingan olahraga mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, juga publik sejumlah negara lainnya. Di era 1970-an, ketika siaran televisi masih didominasi TVRI, dan warga yang mempunyai pesawat televisi juga sangat terbatas, antusiasme warga tak surut. Acara nonton bareng siaran sepak bola ataupun bulu tangkis lazim terjadi di permukiman warga.
Bahkan, sebagian warga yang tak bisa mengakses siaran televisi rela mendengarkan siaran langsung RRI yang semata lewat suara (audio) penyiar. Ketika itu, presenter semata berkonsentrasi pada yang terjadi di lapangan atau arena. Maklum, akses informasi, liputan, dan transportasi masih sangat terbatas sehingga keberadaan reporter atau penyiar di arena menjadi sangat signifikan.
Bahkan, media cetak yang terbit harian, tentu tidak mempunyai format siaran langsung, juga mempunyai tempat tersendiri di hati para pembaca berita olahraga. Tak heran, tulisan liputan event-event olahraga di media cetak, baik itu koran, tabloid, maupun majalah, juga mendapat respons luar biasa dari pembaca.
Minimnya akses publik terhadap ajang-ajang olahraga waktu itu membuat pemirsa dalam posisi menerima apa saja yang dikatakan presenter. Dasawarsa 1970-an dan 1980-an, muncul nama-nama tenar dalam dunia siaran olahraga televisi, seperti Sambas, juga Max Sopacua. Tak ketinggalan hadir pula presenter andal di era 1990-an, seperti Oland Fatah, Helmy Yahya, Tamara Geraldine, juga Deasy Novianti.
Meluasnya internet yang melahirkan fenomena disrupsi digital menggerus keberterimaan audiens itu.
Meluasnya internet yang melahirkan fenomena disrupsi digital menggerus keberterimaan audiens itu. Maklum, akses pemerhati olahraga terhadap berbagai informasi, baik itu siaran langsung, informasi terkini hasil pertandingan, maupun berita-berita baik itu sebelum maupun sesudah laga, sudah berada di berbagai platform media. Termasuk media sosial.
Bahkan, atlet-atlet nasional dan internasional juga sudah mempunyai akun medsos pribadi mereka. Fenomena ini membuat pemirsa siaran langsung olahraga makin hari juga makin memahami perkembangan teraktual dari pemain ataupun tim pujaannya.
Baca juga : Piala Menpora, Pintu Budaya Baru Kompetisi Sepak Bola
Jadi tantangan
Fenomena ini menghadirkan tantangan tak ringan, baik bagi sportcaster, presenter, maupun komentator. Informasi yang meluas di kalangan penggemar olahraga memaksa para sportcaster menemukan formula tepat dalam menyiarkan pertandingan olahraga kepada pemirsa. Tetap menarik tanpa berlebihan, serta tidak berkesan menggurui.
Paul Dempsey, komentator sepak bola senior asal Inggris, dalam sebuah wawancara saat berada di Jakarta pernah menyampaikan tips singkat. ”Bicara secukupnya, jangan berlebihan. Tidak perlu menunjukkan jika Anda lebih tahu, karena sekarang banyak juga penggemar sepak bola yang tahu perkembangan aktual cabang kesukaan mereka, dan atlet idola mereka,” tutur Dempsey.
Dalam artikelnya di The Times berjudul ”Bagaimana Anda Mengomentari Sepak Bola jika Berjarak Ribuan Mil?”, James Gheerbrant mendeskripsikan bagaimana Paul Dempsey mengatasi tantangan kekinian. Tantangan tersebut ialah harus melaporkan laga sepak bola bukan dari stadion, beserta hingar-bingar yang selama ini sangat terasa, tetapi dari rumah yang berjarak sangat jauh dari arena.
Beberapa perubahan situasi yang harus diantisipasi tak lain bagaimana Dempsey berkomunikasi dengan partnernya, dalam hal ini Martin Keown dan Owen Hargreaves; serta bagaimana ia menerjemahkan suasana di dalam stadion yang kini senyap.
Kini, Dempsey berinteraksi dengan Keown dan Hargreaves lewat kamera mini di rumahnya, bukan bersebelahan di studio seperti sebelum pandemi. ”Kalau duduk berdekatan, saya dengan gampang bisa kasih tanda atau mencolek dia, bahwa saya ada pendapat. Namun, kalau sekarang, harus ada gerakan yang lebih frontal supaya mereka memahami isyarat saya,” ujar Dempsey, seperti ditulis Gheerbrant.
Terkait suasana di stadion, Dempsey dengan singkat mendeskripsikan bahwa yang tersaji bukan ”vision thing”, tetapi ”sound thing”. Bagaimana membawakannya di hadapan pemirsa, kejelian para sportcaster sangat menentukan. ”Anda mendengar siapa saja yang berbicara di lapangan, dan siapa yang tidak. Yang mengejutkan saya (pada laga LASK Linz vs Manchester United di Austria) adalah bahwa Harry Maguire adalah bos tim di lapangan. (Kiper MU) Sergio Romero memberi contoh simpel, dengan satu kata berisi perintah kepada empat bek di depannya,” demikian sekelumit kata Dempsey.
Jarang umbar kalimat
Jika dicermati, presenter atau sportcaster di liga-liga Eropa sangat jarang mengumbar kalimat. Yang kerap muncul semacam penilaian terhadap yang terjadi di lapangan. Sebut saja, misalnya, ketika West Ham dalam sebuah pertandingan di Liga Inggris membuat kesalahan besar di lini belakang, presenter cukup mengatakan, ”West Ham menggali lubang kubur mereka sendiri”.
Jika dicermati, presenter atau sportcaster di liga-liga Eropa sangat jarang mengumbar kalimat. Yang kerap muncul semacam penilaian terhadap yang terjadi di lapangan.
Yang juga kerap terdengar, pernyataan menyimpulkan semacam ”Sungguh brilian” untuk sebuah gol indah yang sangat fenomenal, atau ”Penyelamatan hebat” bagi aksi luar biasa penjaga gawang dalam menyelamatkan gawang timnya. Secukupnya, sewajarnya.
Martin Tyler, juga komentator senior asal Inggris, saat menutup babak pertama laga final Piala FA 2021 antara Chelsea dan Leicester City di Stadion Wembley, London, Sabtu (15/5/2021), juga menyampaikan kalimat konklusif. ”Tanpa gol (hingga turun minum), tetapi juga babak pertama yang mengesankan,” kata Tyler, mendeskripsikan 45 menit pertama laga kedua tim yang menarik, dengan Chelsea dan Leicester silih berganti menyerang.
Yang juga dominan ialah paparan data seputar tim atau pemain. Misalnya, penampilan si pemain untuk jumlah kesekian bagi klubnya, atau prestasi sebuah klub yang belum pernah dicapai dalam kurun waktu tertentu. Informasi-informasi ini menjadi ”peneguh” dari kata-kata ”hebat” atau ”brilian” yang sebelumnya tersampaikan.
Singkat kata, dengan meluasnya informasi di dunia maya, dan wawasan pengetahuan pemirsa lebih kaya ketimbang dulu, persiapan sportcaster sudah semestinya lebih rapi. Memperkaya referensi sebelum mengudara menjadi keharusan yang tak bisa ditawar.