Setiap mendengar berita kedatangan vaksin, seperti yang terakhir 1,3 juta dari AstraZeneca, kita besar hati. Namun, ada dua hal yang masih merisaukan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hal pertama yang merisaukan menyangkut ketercukupan vaksin untuk segera mendapatkan imunitas kelompok (herd immunity). Adapun yang kedua, dalam spirit solidaritas, kita ikut memikirkan bahwa masih banyak negara yang masih terlalu sedikit menerima vaksin, sementara ada negara kaya yang bisa mendapatkan vaksin melebihi jumlah penduduknya.
Untuk soal pertama, memang ada kondisi mendesak bagi Indonesia untuk segera memvaksinasi sekitar 181 juta penduduknya demi imunitas kelompok. Jika pasokan tersendat dan jumlah di atas (sekitar 70 persen dari jumlah penduduk) tidak tercapai dalam waktu tertentu, bisa-bisa penerima awal vaksin sudah kehilangan imunitas, dan di luar masih banyak yang rawan terpapar, maka melesetlah upaya imunitas kelompok.
Tentu ini isu kritikal yang harus bisa diatasi. Kita tak menyangsikan ikhtiar yang sudah ditempuh pemerintah melalui diplomasi vaksin. Sebagai hasilnya, RI sudah mendapatkan 75,9 juta dosis vaksin buatan AstraZeneca, Sinovac, dan Sinopharm. (Kompas, 9/5/2021). Cukup banyak, tetapi masih kurang dari kebutuhan menuju imunitas kelompok.
Persisnya di sinilah tantangannya, karena diakui atau tidak ada politik nasionalisme vaksin, bahwa sejumlah negara kaya telah memborong vaksin, hingga jumlahnya melebihi, atau bahkan mencapai beberapa kali dari jumlah penduduknya.
Dari 700 juta vaksin yang sudah disuntikkan di dunia hingga April 2021, sebanyak 425 juta dosis dilakukan di Amerika Serikat dan China, sementara total vaksin yang diberikan di puluhan negara miskin tidak sampai 1 juta dosis.
Mengamati ketidak-setaraan vaksin ini, Afrika Selatan dan India memprakarsai usulan kepada Organisasi Perdagangan Dunia agar hak atas kekayaan intelektual atau paten vaksin Covid-19 sementara dihapuskan.
Inisiatif di atas, yang kini didukung 100 negara termasuk RI, tidak serta-merta diterima oleh negara-negara industri. AS menerima setelah tujuh bulan berargumen. Sejumlah negara Uni Eropa masih menolak. Inggris dan Swiss, meski bukan anggota Uni Eropa tetapi termasuk produsen vaksin, belum mendukung ide tersebut.
Tentu saja sekadar mempertimbangkan biaya riset penciptaan vaksin, justru peluang ekonomi sedang tinggi, pembebasan HAKI vaksin akan membuat keuntungan lepas. Namun, pertimbangan keuntungan semata tidak mencukupi mengingat urusan pandemi ”tak mengenal batas negara”.
Saat pandemi masih sulit dikendalikan, tiap negara punya prioritas masing-masing. Semua ingin lebih dulu menjalankan vaksinasi dan segera keluar dari krisis. Kesetaraan (akses) vaksin baik digaungkan, tetapi spirit yang lebih tepat boleh jadi kerja sama dalam kebersamaan, demi survival bersama. Penghapusan HAKI vaksin sementara akan memungkinkan vaksin bisa lebih cepat dan luas diproduksi.
Bagaimanapun juga, dalam upaya penanggulangan pandemi ada dimensi kemanusiaan yang dalam.