Membaca adalah proses mencerna, memahami, mengendapkan materi dan terinternalisasi ke alam bawah sadar. Pada saatnya, energi intelektual tadi akan termanifestasi dalam karakter. Inilah manfaat jangka panjang literasi.
Oleh
Yes Sugimo
·2 menit baca
Tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah, menurut PISA, masih di urutan ke-65 dari 67 negara. Meski data Badan Pusat Statistik menunjukkan persentase buta huruf pada 2018-2020 ”hanya” 4 persen, sekitar 10 juta dari 250 juta penduduk Indonesia kenyataannya tingkat literasinya masih rendah karena malas membaca.
Manfaat membaca sangat terasa, dari yang sederhana: dari tidak tahu menjadi tahu hingga yang ilmiah menciptakan atau menemukan sesuatu. Membaca membuat kita lancar mengeja kata dan kalimat, memperkaya kosakata dan paham ejaan, mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, mengikuti perkembangan informasi, dan mendongkrak perekonomian dengan peredaran buku dan sebagainya.
Namun, mengapa masyarakat kita malas membaca, bahkan di kalangan pendidik yang seharusnya jadi penggerak literasi? Akademisi secara kodrati dituntut berwawasan seluas samudra karena menjadi injektor ilmu dan agen penggerak perubahan. Bukan sekadar pengikut. Jika kaum terdidik saja buta literasi, bagaimana masyarakat awam?
Membaca merupakan proses mencerna, memahami, mengendapkan materi, dan kemudian terinternalisasi ke alam bawah sadar. Pada saatnya, energi intelektual tadi akan termanifestasi dalam karakter. Inilah manfaat jangka panjang efek literasi.
Karena proses masukan-keluaran tersebut tidak disadari, aktivitas membaca menjadi beban. Kondisi ini bertolak belakang dengan fakta sehari-hari. Orang Indonesia senang bersosialisasi, mengobrol, kumpul-kumpul. Kalaupun niat membaca dan menulis, hal itu sebatas chat di media sosial.
Tidak heran kita sering menemukan materi chat yang amat vulgar. Keseringan menyerap konten ”asal jadi”, lalu membentuk persepsi. Celakanya, materi di media sosial jauh dari akidah jurnalistik, baik konten maupun struktur. Mengalirlah berbagai hasutan, ujaran kebencian, dan fitnah karena tidak ada kekritisan.
Anehnya, di dunia maya orang betah lama-lama berselancar, asyik ber-ha-ha-hi-hi tanpa juntrung. Kegiatan lain yang mestinya produktif terbengkalai. Media sosial juga merenggangkan kehangatan keluarga. Banyak peristiwa negatif di dunia nyata berawal dari dunia maya.
Bagaimana solusinya? Bekali wawasan diri melalui literasi. Literasi bisa mulai dari hal kecil, misalnya membaca label setiap membeli produk, mencermati data dokumen pribadi dan keluarga, membaca koran-majalah-buku yang dimiliki, dan selektif memilih notifikasi dari internet. Setelah membaca, kita bisa naik tingkat dengan menulis.
YES SUGIMO
Jalan Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung 40616