Setelah adaptasi pembelajaran di tahun pertama pandemi, kini tantangan berikutnya adalah memulihkan pembelajaran yang hilang akibat kesenjangan teknologi dan tidak meratanya kemampuan guru.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Memasuki tahun kedua, gangguan pendidikan akibat pandemi Covid-19 masih berlanjut. Dengan segala keterbatasan yang ada, selama ini guru dan siswa telah mampu beradaptasi untuk menjaga keberlanjutan pembelajaran meski belum optimal.
Adaptasi pembelajaran telah melahirkan lompatan kemajuan yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Adopsi teknologi untuk pendidikan berlangsung secara masif. Guru juga bersemangat belajar dan berinovasi menggunakan teknologi untuk pembelajaran. Memang belum sempurna dan masih banyak kendala, tetapi semakin baik.
Ketiadaan sumber daya teknologi untuk pembelajaran juga melahirkan cara-cara tak biasa untuk menjaga agar pembelajaran tak terhenti selama pandemi. Tak sedikit guru berjibaku menempuh medan yang berat untuk memberikan pembelajaran ke rumah siswa. Pemerintah pun berupaya memberikan sejumlah alternatif media pembelajaran, baik melalui radio maupun televisi.
Penutupan sekitar 271.000 sekolah mengembalikan pembelajaran 68 juta siswa dari sekolah ke rumah. Ini menumbuhkan kesadaran keluarga dan masyarakat untuk lebih terlibat dan bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak mereka, sebagaimana konsep tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Tanpa dikomando, muncul inisiatif-inisiatif masyarakat untuk menyediakan gawai, akses internet, maupun pendampingan belajar.
Meskipun begitu, krisis pembelajaran tetap tak terhindarkan. Ketimpangan akses pembelajaran daring hingga kemampuan guru yang tidak merata memperdalam permasalahan yang telah ada dalam pendidikan. Kesenjangan, hilangnya capaian belajar (learning loss), hingga putus sekolah meningkat.
Kajian Bank Dunia menyebutkan, secara global, learning loss meningkat 10 persen dan di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, diperkirakan meningkat 7,7 persen. Pemantauan melalui pendataan Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat di 1.104 desa pada akhir tahun lalu juga menunjukkan 938 anak atau 1 persen anak usia 7-18 tahun putus sekolah akibat pandemi, menambah jumlah 13.500 anak yang putus sekolah sejak sebelum pandemi.
Inilah tantangan utama tahun kedua pandemi, memulihkan pembelajaran yang hilang, mempersempit kesenjangan, hingga mengantisipasi anak putus sekolah dan mengembalikan mereka ke sekolah. Mitigasi dampak pandemi pada pendidikan harus diperkuat mengingat mereka yang paling terdampak adalah anak-anak dari keluarga miskin yang sering kali terpinggirkan dalam pendataan maupun kebijakan.
Dalam upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional, Minggu (2/5/2021), Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengatakan ada empat upaya yang tengah dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Pertama, perbaikan pada infrastruktur dan teknologi. Kedua, perbaikan kebijakan, prosedur, dan pendanaan, serta pemberian otonomi lebih bagi satuan pendidikan. Ketiga, perbaikan kepemimpinan, masyarakat, dan budaya. Keempat, perbaikan kurikulum, pedagogi, dan asesmen.
Di tengah upaya-upaya tersebut, keberpihakan kepada mereka yang tertinggal menjadi sangat krusial. Tanpa upaya lebih memulihkan mereka dari ketertinggalan, mereka akan tetap tertinggal dan menjadi beban pembangunan. Dukungan terutama harus diberikan kepada guru yang menjadi garda terdepan pendidikan.