Dunia kerja yang berkeadilan dan bermartabat bagi semua harus bisa diwujudkan. Solidaritas antarpekerja, bersama pengusaha, pemerintah, organisasi internasional, dan setiap orang menjadi kunci kemakmuran pekerja migran.
Oleh
Redaksi Kompas
·3 menit baca
Pandemi dan konsekuensinya jadi pengingat akan saling ketergantungan global. Solidaritas menjadi kunci bagi kelangsungan hidup dan kemakmuran bersama.
Pesan Direktur Jenderal Organisasi Buruh Internasional (ILO) Guy Ryder pada peringatan Hari Pekerja Internasional (May Day), 1 Mei lalu, mengingatkan kembali bahwa pandemi Covid-19 harus dihadapi bersama. Tiada satu negara pun di dunia ini yang bisa menghadapi pandemi sendirian.
Pandemi Covid-19 membuat krisis saat ini dan pemulihannya haruslah berpusat pada manusia, dengan keadilan dan kesetaraan, berkelanjutan dan inklusif bagi semua.
Kelangsungan hidup dan kemakmuran warga dunia harus diwujudkan bersama pula, dengan membangun solidaritas antarbangsa: antarpekerja, dengan pengusaha, pemerintah, organisasi internasional, serta setiap orang yang peduli. Dunia kerja yang berkeadilan dan bermartabat bagi semua harus bisa diwujudkan. Pandemi Covid-19 membuat krisis saat ini, dan pemulihannya haruslah berpusat pada manusia, dengan keadilan dan kesetaraan, berkelanjutan dan inklusif bagi semua.
Sesuai dengan pemetaan Departemen Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2017, ILO memperkirakan saat ini tak kurang dari 164 juta pekerja migran di dunia. Mereka tersebar di 11 zona, dengan populasi pekerja migran terbanyak di kawasan Eropa Utara, Selatan, dan Barat serta di Amerika Utara, yakni tak kurang dari 46,9 persen. Pangsa pasar buruh migran terbesar adalah di negara-negara Arab (40,8 persen). Bank Dunia mencatat, Indonesia adalah negara yang terbesar keempat dalam pengiriman remitensi dari pekerja migrannya, setelah India, China, dan Filipina.
Seperti beberapa kali diberitakan Kompas, termasuk Senin (3/5/2021), pandemi membuat sejumlah negara tujuan pekerja migran membatasi jumlah pekerja asingnya. Di kawasan Asia Tenggara, misalnya, tujuan utama buruh asal Indonesia adalah Malaysia. Namun, sejak Covid-19 mengamuk, Malaysia membatasi dan memulangkan ribuan pekerja asal Indonesia. Tahun 2020, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, 14.630 tenaga kerja Indonesia (TKI) saja yang bisa ditempatkan di negeri jiran. Padahal, dua tahun sebelumnya, sebanyak 90.664 orang (2018) serta 79.662 orang (2019) asal Indonesia bisa ditempatkan bekerja di Malaysia. Kondisi yang sama terjadi di sejumlah negara tujuan pekerja migran di dunia.
Pandemi membuat posisi tawar pekerja migran melemah. Pemerintah negara tujuan pun harus memikirkan nasib angkatan kerjanya karena sejumlah perusahaan tak bisa bertahan dan terpaksa mengurangi pekerjanya. Negara asal buruh migran, termasuk Indonesia, tak mudah pula membahas perlindungan bagi warganya yang bekerja di luar negeri.
Liputan Kompas bersama Malaysiakini, dengan dukungan Sasakawa Foundation (Jepang), sejak Maret lalu menemukan tak sedikit warga negara Indonesia, yang dipulangkan pada masa pandemi ini, secara ilegal kembali ke Malaysia. Ada yang berhasil, tetapi tak sedikit yang menjadi korban, tewas sebelum mencapai tujuannya. Hidup keluarganya pun di Indonesia menjadi tidak menentu.
Tak sedikit warga negara Indonesia, yang dipulangkan pada masa pandemi ini, secara ilegal kembali ke Malaysia.
Pemerintah, organisasi internasional, atau siapa pun yang peduli perlu mencari solusi bersama untuk masalah ini. Warga dunia bisa bersama menghadapi pandemi, juga perlu mencari jalan bagi kesejahteraan pekerja migran yang selama ini memberikan solusi bagi persoalan negara asal dan negara tujuan.