Secara fungsional, KLHK—langsung ataupun tidak langsung—harus berperan aktif dan mendampingi pemulihan lingkungan daerah sekitar bendungan dan hulu.
Oleh
Pramono Dwi Susetyo
·3 menit baca
Presiden Joko Widodo membangun banyak bendungan untuk meningkatkan hasil pertanian dan kesejahteraan petani. Sejak 2015 hingga saat ini sudah dibangun 65 bendungan di seluruh Indonesia.
Tahun 2021, Presiden, antara lain, meresmikan bendungan Tukul di Pacitan, Jawa Timur; Rotiklot di Nusa Tenggara Timur (NTT); Tanju dan Mila di Nusa Tenggara Barat (NTB); dan Teritib di Kalimantan Timur. Juga bendungan Gondang di Jawa Tengah, Segong di Kepulauan Riau, Nipah di Jawa Timur, Napun Gete di NTT, Taping di Kalimantan Selatan, dan Sindang Heula di Banten.
Beberapa bendungan umumnya dibangun di tempat tandus dan kering dengan kondisi daerah aliran sungai (DAS) di hulu sangat kritis. Padahal, bendungan umumnya untuk mereduksi banjir dengan menampung air dan mengairi sawah untuk irigasi pertanian.
Usia bendungan diperkirakan 50-75 tahun. Faktor yang memengaruhi usia bendungan adalah sedimentasi yang meningkat cepat apabila tidak ada perbaikan lingkungan di DAS dan daerah di atas bendungan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) harus bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menjaga agar bendungan bisa memberi manfaat berkelanjutan.
Secara fungsional, KLHK—langsung ataupun tidak langsung—harus berperan aktif dan mendampingi pemulihan lingkungan daerah sekitar bendungan dan hulu. Perlu dipikirkan untuk membuat persemaian permanen di daerah bendungan untuk menyuplai kebutuhan bibit rehabilitasi lahan daerah hulu dan genangan bendungan, sebagaimana KLHK membangun persemaian berskala besar untuk daerah destinasi wisata prioritas di Danau Toba di Sumatera Utara, Labuan Bajo di NTT, Mandalika di NTB, dan Likupang di Sulawesi Utara. Rasanya, 65 bendungan yang telah dibangun itu perlu diperlakukan sama dengan daerah-daerah wisata prioritas dalam hal rehabilitasi lahan.
Bendungan Bili-bili di Kabupaten Gowa, Sulsel, tahun 1994/1995, yang terlambat perbaikan lingkungannya, menjadi pelajaran berharga. Tahun 2019, Kabupaten Gowa dilanda banjir bandang dan longsor. Maka, rehabilitasi dengan tanaman kayu-kayuan penting di hulu DAS.
PRAMONO DWI SUSETYO
Pensiunan KLHK, Villa Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Apresiasi
Sebagai apresiasi terhadap pelayanan prima (santun, ramah, sabar, dan sigap) ketika divaksinasi Covid-19 dosis pertama, saya menulis surat pembaca di harian Kompas. Surat saya dimuat di rubrik Surat Kepada Redaksi dengan judul ”Layanan Prima untuk Lansia” (Senin, 22 Maret 2021).
Saya divaksinasi dosis kedua di tempat dan oleh penyelenggara yang sama dengan vaksinasi pertama. Maka, saya berniat membagikan fotokopi surat di Kompas itu untuk para dokter dan tenaga kesehatan yang bertugas.
Seusai divaksinasi dosis kedua, 5 April 2021, kopi surat itu saya sampaikan kepada beberapa dokter dan tenaga kesehatan di lokasi vaksinasi. Mereka tersenyum senang. ”Terima kasih, Pak,” katanya.
Saya merasakan bahwa pelayanan vaksinasi dosis kedua itu juga sangat baik dan menyenangkan kami, para lansia. Sekali lagi terima kasih.
Upaya mengatasi pandemi masih panjang dan berat. Maka, apresiasi dalam bentuk apa pun akan membesarkan hati penyelenggara vaksinasi Covid-19 yang telah dan masih akan terus bekerja keras.
EDUARD LUKMAN
Jalan Warga, RT 014 RW 003, Pejaten Barat, Jakarta, 12510
Lang dan Ram
Istilah ”sub missed” dan ”sub sunk” yang berturut-turut berarti ”kapal selam hilang” dan ”kapal selam tenggelam” (sub singkatan dari submarine) ringkas dan jelas, cocok untuk saat genting.
Mungkin dapat dipadankan dengan ”kapslang” (kapal selam hilang) dan ”kapsram” (kapal selam karam).