Indonesia perlu kesadaran darurat pandemi. Sebuah kesadaran yang bisa membuat publik berhati-hati dan waspada bahwa setiap saat mereka bisa tertular Covid-19.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ribuan pengunjung memadati Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Sabtu dan Minggu (1-2/5/2021). Kerumunan massa tak terelakkan, mayoritas dari pengunjung yang berbelanja barang kebutuhan jelang Lebaran. Meski sebagian besar mengenakan masker, ketentuan untuk menjaga jarak mustahil diterapkan. (Kompas, 3/5/2021).
Fenomena kerumunan di Pasar Tanah Abang hanya satu dari sejumlah kondisi terkait dengan penanganan pandemi Covid-19, yang membuat kita layak prihatin. Beberapa yang lain di antaranya kasus praktik suap agar lolos dari kewajiban karantina dan temuan penggunaan alat tes antigen bekas.
Celakanya, rendahnya kedisiplinan warga itu tidak optimal teratasi karena inkonsistensi penegakan protokol kesehatan oleh aparat.
Terhadap kasus-kasus itu, penegakan hukum telah dijalankan. Dalam kasus alat tes antigen bekas di Laboratorium Kimia Farma Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, misalnya, polisi telah menetapkan lima tersangka (Kompas, 29/4/2021).
Dari beberapa peristiwa ini, benang merah yang bisa dipetik adalah minimnya kesadaran akan situasi kedaruratan pandemi Covid-19, yang berimbas pada lemahnya kedisiplinan warga menerapkan protokol kesehatan. Celakanya, rendahnya kedisiplinan warga itu tidak optimal teratasi karena inkonsistensi penegakan protokol kesehatan oleh aparat.
Dalam kejadian kerumunan di Tanah Abang, terlihat jelas, pembatasan jumlah pengunjung di pasar atau pusat perbelanjaan tidak dijalankan. Padahal, tahun lalu, terutama pada awal-awal pandemi Covid-19, yang semacam ini jamak dilakukan, terutama pada masa pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Bahkan, mereka yang tidak taat menjalankan protokol kesehatan dikenai sanksi oleh Satgas Covid-19.
Namun, seiring waktu, pelaksanaan protokol kesehatan mengendur di masyarakat meski masih ada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro di DKI Jakarta. Ada fenomena yang memicu mengendurnya protokol kesehatan ini, seperti kejenuhan warga akibat terlalu lama berada di rumah dan euforia vaksinasi.
Di sisi lain, aparat penegak hukum juga menghadapi kendala keterbatasan tenaga dan inkonsistensi ketegasan penanganan terkait dengan upaya menerobos celah peraturan. Hal ini terungkap dalam kasus suap agar lolos dari karantina. Kasus ini mencuatkan fakta, petugas yang seharusnya diandalkan dalam penegakan protokol kesehatan juga kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan akibat pelanggaran aturan itu.
Harus dipahami bersama, Indonesia perlu mengantisipasi agar tidak mengalami gelombang baru penularan Covid-19 seperti di India. Rasa percaya diri berlebih karena menganggap telah berhasil mengendalikan pandemi membuat pemerintah dan masyarakat India membuka keran pembatasan sosial sehingga menjadi kluster penularan Covid-19.
Pemerintah perlu menyusun narasi terkait dengan kedaruratan pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Kesadaran kedaruratan yang dipahami masyarakat akan mempermudah penanganan pandemi.