Urgensi mengatasi akar masalah penyebab bencana sering kali terhambat oleh pandangan bahwa peristiwa bahaya alam itu sendiri tidak dapat dikendalikan. Seakan bencana alam bukan disebabkan atau didorong oleh manusia.
Oleh
RONALD JACKSON
·4 menit baca
Bali menjadi tuan rumah penyelenggaraan Sesi Ke-7 Platform Global tentang Pengurangan Risiko Bencana (Global Platform on Disaster Risk Reduction/GPDRR) pada 23-28 Mei ini.
Tema pertemuan ini adalah ”Risiko ke Resiliensi: Menuju Pembangunan Berkelanjutan untuk Semua di Dunia Terdampak Covid-19” (Risk to Resilience: Towards Sustainable Development for All in a Covid-19 Transformed World).
Acara ini sangat penting bukan hanya karena untuk pertama kalinya selama dua tahun terakhir komunitas Pengurangan Risiko Bencana (PRB) global dapat bertemu tatap muka.
Lebih dari itu, tahun ini juga merupakan tahun ketujuh upaya global untuk mewujudkan ”prioritas aksi Sendai” sejalan dengan Kerangka Sendai guna mengukur pengurangan risiko dan kerugian bencana, sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Kerangka Sendai yang diadopsi pada 2015 itu sendiri merupakan kesepakatan negara-negara anggota PBB untuk pengurangan risiko bencana.
Karena kita benar-benar hidup di dunia yang berubah akibat Covid-19, acara dan tema tahun ini menjadi semakin penting.
Kegagalan sistem
Karena kita benar-benar hidup di dunia yang berubah akibat Covid-19, acara dan tema tahun ini menjadi semakin penting. Selain itu, sangat mendesak bagi komunitas pembangunan dan pemerintah untuk memikirkan apa komitmen kita untuk mewujudkan Kerangka Sendai ini.
SDGs sendiri sudah berat, ditambah lagi dengan tantangan terkait aspirasi SDGs berupa kelemahan kelembagaan yang ada saat ini untuk mengelolanya, apalagi untuk bergerak menuju ketangguhan bencana yang nyata.
Pada 2015, ketika Kerangka Sendai diimplementasikan, menurut Pusat Riset Epidemiologi Bencana (Center for Research on the Epidemiology of Disasters/CRED), terdapat 395 bencana yang dipicu oleh peristiwa bahaya alam (natural hazard events). Pada 2016, jumlah tersebut adalah 342, dan angka jumlah bencana ini terus berfluktuasi dari tahun ke tahun, mendekati rata-rata tahunan dekade sebelumnya, yakni 432 bencana pada 2021.
Meskipun bukan berarti tingkat keparahan dan dampaknya tidak meningkat, cukup banyak peristiwa bahaya alam yang dapat diprediksi secara konsisten. Pada 2015 timbul pemikiran di banyak pemerintah negara yang mengalami bencana bahwa peristiwa-peristiwa ini semata merupakan akibat kerasnya alam yang kemudian menjadi bencana yang menerjang warga mereka.
Urgensi untuk mengatasi akar masalah penyebab bencana sering kali terhambat oleh pandangan bahwa peristiwa bahaya alam itu sendiri tidak dapat dikendalikan. Pandangan yang sering tecermin dalam penggunaan ungkapan ”bencana alam”, padahal pada kenyataannya semua bencana disebabkan atau didorong oleh manusia. Anggapan bahwa bencana disebabkan oleh alam telah menimbulkan rasa tidak berdaya.
Idealnya, kita harus memisahkan antara ”peristiwa bencana” (yang mungkin tidak dapat kita kendalikan) dan dampak kegagalan sistem sosial dan ekonomi untuk menopang kondisi kehidupan sebelum terjadinya bencana.
Jika tujuan sejati dari Kerangka Sendai adalah untuk mengurangi risiko dan kerugian bencana, maka pemerintah, lembaga internasional, dan masyarakat sipil pada umumnya berkewajiban untuk mengakui peran kolektif mereka dalam berinvestasi untuk mengurangi pemicu risiko sebagai jalan yang diperlukan untuk membangun ketangguhan bencana.
Rumus sederhana
Bencana merupakan konsekuensi dari interaksi antara suatu peristiwa, aset, dan orang-orang yang terpapar, serta kapasitas sistem untuk secara efektif menangani gejolak alam yang sementara. ”Risiko” sama dengan Bahaya dikalikan dengan Keterpaparan dan Kerentanan, dibagi Kapasitas.
Jawaban atas upaya kita untuk bergerak menuju Agenda Pembangunan Berkelanjutan terletak pada rumus sederhana ini. Jika tujuan kita adalah pembangunan yang berkelanjutan, maka misi kita sebagai praktisi pembangunan dan penerima manfaat pembangunan adalah untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko sistemik serta risiko lainnya.
Hal ini berarti mengurangi risiko bencana dengan meningkatkan kapasitas dan mengurangi keterpaparan dan kerentanan. Ini adalah variabel yang bisa kita kendalikan.
Pertanyaan penting untuk kita renungkan dalam pertemuan global ketujuh ini adalah apakah semua sepakat bahwa risiko dapatlah dikelola, dan apakah kita benar-benar mengerahkan sumber daya kita untuk mengurangi atau menghilangkan pendorong utama risiko (seperti ketimpangan, tata kelola yang buruk, pelanggaran hukum, ketidakadilan, atau degradasi lingkungan hidup).
Bencana hanya mengingatkan kita akan apa yang masih perlu diperbaiki, memberikan peluang untuk mengarahkan jalur pembangunan menuju ketangguhan bencana.
Semua hal tersebut adalah masalah pembangunan, yang melampaui fokus jangka pendek. Bencana hanya mengingatkan kita akan apa yang masih perlu diperbaiki, memberikan peluang untuk mengarahkan jalur pembangunan menuju ketangguhan bencana.
Kerangka Sendai menunjukkan dengan jelas di mana kita harus berinvestasi untuk mengurangi risiko bencana yang menyebabkan kemunduran dalam hasil pembangunan yang sudah diperoleh dengan susah payah. Inilah pentingnya Kerangka Sendai sebagai penggerak untuk pembangunan berkelanjutan.
Penerapan pendekatan risk-informed development (pembangunan melek risiko) penting untuk menjangkau masyarakat yang paling rentan.
Seperti yang telah kita ketahui, peristiwa bahaya alam akan selalu berlanjut. Namun, jika kita memfokuskan daya upaya pada kondisi yang dapat dikendalikan untuk memastikan tidak seorang pun tertinggal, kita akan berada di jalur yang tepat untuk membangun masyarakat yang tangguh bersama-sama.
Pesan utama Kerangka Sendai, jika dipahami dengan benar, tak hanya dapat diterapkan untuk risiko bahaya alam, tetapi juga untuk mengelola risiko iklim dan biologis, seperti pandemi dan epidemi.
Ronald Jackson,Kepala Pengurangan Risiko Bencana dan Pemulihan untuk Ketangguhan Bencana UNDP