Keberpihakan tidak memerlukan tingkat kecerdasan luar biasa. Kita hanya dituntut memiliki nurani yang peduli kepada nasib bersama masyarakat luas.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·3 menit baca
Saat saya terkapar empat bulan karena sakit, Kompas pun terlewat untuk dibaca. Kini, ketika mulai lagi, membaca halaman pertama Kompas (Jumat, 16/4/2021) sungguh menyejukkan. Mengobati kerinduan pada konsistensi Kompas mewakili kelompok minoritas.
Abdullah Fikri Ashri menulis ”Tiada Habis Nestapa Petani Didera Impor”. Kebijakan impor gula, beras, dan garam bak hantaman bertubi-tubi bagi petani. Mereka hanya bisa pasrah dan mencoba bertahan.
Kalau dahulu mendengar kata swasembada, asosiasinya adalah kemandirian bangsa di bidang pangan, membaca kajian Fikri ini seperti melihat ironi masa kini. Infrastruktur digalakkan, tetapi kegiatan yang seharusnya terdukung malahan mati suri.
Pada tanggal yang sama Kompas memuat artikel yang mencerahkan secara teknis, informasi tentang kondisi pengadaan gula, di halaman 9 rubrik Ekonomi dan Bisnis.
Keberpihakan tidak memerlukan tingkat kecerdasan luar biasa. Kita hanya dituntut memiliki nurani yang peduli kepada nasib bersama masyarakat luas.
Presiden tidak mungkin bergerak sendiri tanpa dukungan para pendampingnya. Kebijakan ”potong kompas” dengan impor membalikkan keberpihakan kepada sekelompok pengusaha ketimbang kepada rakyat banyak.
Maka, swasembada dan keberpihakan makin jauh dari kenyataan. China membuat yang tidak ada menjadi ada dan bertumbuh kembang. Kita meredupkan barang yang pernah bersinar dan malah menghilangkannya.
Saya bukan pakar ekonomi atau politik, melainkan nalar awam membandingkan dua situasi ini sangat gamblang.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Jakarta Selatan 12970
Meluruskan Berita
Di halaman 11 Kompas (Minggu, 14/2/2021), ada artikel Alias Swastika berjudul ”Jender dan Kebijakan Kebudayaan”. Tulisan ini mengandung data keliru.
Pada alinea kesembilan, penulis menyatakan, ”… Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) baru sekali dipimpin perempuan, yaitu Ratna Sarumpaet… Tokoh sekaliber Toety Heraty atau Edy Sedyawati, meski perannya sangat besar, tak pernah jadi Ketua Umum....”
Sejak pertama kali dibentuk pada 7 Juni 1968 lewat Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No Ib.3/2/19/1968 hingga terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 4 Tahun 2020, dalam lembaga DKJ tidak pernah ada jabatan ketua umum. Yang ada Ketua Dewan Pekerja Harian, disingkat DPH (1968-1974), Ketua-ketua DPH (1974-2006), dan Ketua Pengurus Harian (2006-sekarang).
DPH/Pengurus Harian adalah ”lembaga” dalam DKJ, terdiri dari tujuh hingga sembilan orang yang ditunjuk/dipilih di antara 25 anggota DKJ.
Selanjutnya, lewat Pergub Nomor 64 Tahun 2006, istilah DPH diubah menjadi Pengurus Harian dengan susunan yang juga berubah. Terakhir, lewat Pergub Nomor 4 Tahun 2020, susunan PH berubah lagi menjadi tujuh orang dengan komposisi satu ketua, dua wakil ketua, dan empat anggota.
Dari semua aturan yang pernah terbit/ada tentang DKJ sejak SK tahun 1968 hingga Pergub tahun 2020, tidak pernah ada posisi/jabatan yang namanya Ketua atau Ketua Umum DKJ. Yang ada Ketua DPH-DKJ atau Ketua Pengurus Harian DKJ.
Saat menjadi anggota DKJ pada 2003-2006, jabatan Ratna Sarumpaet adalah salah seorang Ketua DPH. Ada dua orang lagi yang menjadi Ketua DPH, yakni Agus R Sardjono dan Maria Darmaningsih. Pada periode itu, Ratna Sarumpaet bukan satu-satunya perempuan Ketua DPH.
Mereka juga bukan perempuan pertama yang ”memimpin” DPH-DKJ karena sebelumnya sudah ada Ratna Riantiarno (1993-2003) dan Iravati M Sudiarso (1975-1981).
Edi Sedyawati juga menjadi salah satu pengurus DPH sebagai anggota. Toety Heraty juga tercatat sebagai salah satu Ketua pada 1982-1985. Di luar itu semua, masih banyak perempuan lain yang pernah menjadi Ketua DPH DKJ.