PSBB mengubah aturan main. Petugas satpol PP merasa berwenang ”sweeping” ke sejumlah kantor, rumah makan, panti pijat, toko, tempat ”laundry”, dan sebagainya dengan intimidasi stiker segel yang dicari-cari alasannya.
Oleh
Mansyur
·3 menit baca
Pemberlakuan PSBB atau pembatasan sosial berskala besar dalam berbagai bentuk memunculkan perilaku korup. Saya menengarai para oknum di Kelurahan Cmn, Kota Tangerang, Banten, yang memanfaatkan aturan PSBB untuk mengintimidasi dan memeras kami.
Hal yang sama terjadi di Jakarta dengan intimidasi stiker segel, yang tampak dicari-cari alasannya. Memang, PSBB mengubah aturan main. Petugas satpol PP merasa berwenang sweeping ke sejumlah kantor, rumah makan, panti pijat, toko, tempat laundry, dan sebagainya.
Di kawasan Tangerang, modus yang dipakai adalah satpol PP sweeping, minta perizinan usaha (sejak kapan satpol PP ada hak untuk sweeping izin usaha).
Sweeping berlangsung setiap minggu, foto-foto usaha kami secara kasar dan tanpa izin, mengintimidasi karyawan. Lalu tiba-tiba lurah memberi surat penghentian kegiatan usaha, alasannya kurang izin usaha. Katanya, harus ada izin khusus Kota Tangerang.
Ketika surat teguran lurah dua kali datang, kami berusaha bertemu lurah. Izin kami dikatakan tidak berlaku karena, menurut bapak lurah Tangerang, harus sesuai peraturan izin khusus Kota Tangerang.
Lalu datang surat dari kasatpol PP, meminta kami datang ke kantor satpol PP di Jalan Daan Mogot, Tangerang. Ujung-ujungnya kami dimintai Rp 50 juta.
Sejak kapan lurah dan satpol PP ada wewenang memeriksa izin usaha dan menghentikan usaha yang tidak mempunyai izin usaha? Kami berusaha di tanah milik kami sendiri. Ada sertifikat dan IMB-nya.
Bisa dibayangkan besarnya uang pungutan liar yang diperoleh akibat kewenangan yang terlalu besar pada satpol PP. Dengan stiker segel di tangan, mereka mengancam orang-orang kecil yang berjuang di tengah pandemi Covid-19. Tanpa pungli pun, para pengusaha UMKM sudah bangkrut. Semua diam karena tidak tahu harus melapor ke mana, apalagi tidak ada bukti transfer uang.
Solusi dari saya, larang semua satpol PP untuk sweeping ke kantor-kantor, rumah makan, toko-toko, dan lain-lain. Mereka jadi merasa mempunyai wewenang menjatuhkan sanksi, yang diselewengkan dengan mencari-cari alasan.
Mohon oknum-oknum itu segera ditindak karena mereka sudah meresahkan.
MANSYUR
Kelapa Gading, Jakarta
Kutipan
Dalam buku biografi Panglima Jenderal Besar Soedirman oleh R Eddy Soekamto (Narasi, 2011, Yogyakarta) ada beberapa kutipan yang bisa dicatat sebagai penyemangat.
Ketika didesas-desuskan akan merebut kekuasaan pemerintah, beliau membantah keras. ”Saya tidak akan berusaha ke jurusan itu. Bahkan, saya akan menolak apabila kursi presiden disodorkan kepada saya,” kata Soedirman (halaman 101).
Soedirman dan Oerip Soemoharjo menyadari bahwa kepentingan politik tertentu mulai menyusup, memunculkan kecurigaan samar-samar. Keadaan seperti ini berbahaya karena akan memecah belah kekuatan nasional (hlm 105).
Jenderal Soedirman menghendaki agar setiap pejuang Indonesia mempunyai jiwa gemblengan yang hanya bertindak untuk kepentingan nasional, bukan pribadi atau golongan (hlm 107).
Soedirman menghendaki bahwa penting sekali ada persatuan dari seluruh kekuatan nasional. Hatinya terkesan oleh pengorbanan para pahlawan yang berjuang dan gugur di garis depan (hlm 108).
Pada 19 Desember 1948, angkatan perang Belanda menyerang Kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. Karena pertolongan Tuhan dan persatuan, kota itu tidak hancur dan Republik Indonesia tetap ada (hlm 130-142).
Saya prihatin dengan kondisi di Tanah Air saat ini. Anggota partai yang terhormat saling jegal, kongres HMI pun ricuh. Apakah tidak bisa saling menahan diri dengan bermusyawarah baik-baik?
Mengapa kita tidak belajar dari Jenderal Soedirman?