Saya terbiasa ikut belajar anak-anak dan cucu-cucu saya di sekolah mereka. Saya jadi tahu apa yang mereka pelajari, bisa membantu jika mereka butuh kejelasan, dan juga mengoreksi pengetahuan yang keliru.
Suatu ketika anak saya dinyatakan salah menjawab sejumlah pertanyaan, padahal ia yakin benar. Karena takut, ia hanya berani bercerita kepada saya. Saya berupaya mengomunikasikan hal ini dan syukurlah gurunya berhati besar. Ia mau meninjau kembali kerja anak saya. Ia bahkan minta maaf karena ternyata kurang teliti.
Bahan ulangan ternyata diambil dari majalah yang mengandung pelajaran untuk anak SD, dijual di toko buku. Begitu pula kunci jawabannya (yang salah). Kelalaian guru dapat menjerumuskan anak belajar hal-hal yang tidak benar. Apa jadinya jika bahan pelajaran di majalah itu beredar di seluruh pelosok negeri?
Saya pernah berniat mempertanyakan tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemendikbud), tetapi niat saya urungkan karena saya harus bisa menyediakan bukti-bukti obyektif dengan mengeksplorasi berbagai bahan pelajaran yang beredar. Tak sanggup saya. Saya hanya berharap semoga Kemendikbud sudah melakukan tugasnya menjaga mutu bahan ajar.
Namun, kini, ada yang kembali menggelitik. Mengikuti proses belajar cucu saya, muncul pertanyaan besar tentang arah pendidikan dalam menyusun kurikulum. Kalau dulu saya belajar berhitung agar mampu menggunakan untuk keperluan sehari-hari dan tidak diakali orang, sekarang cucu saya—kelas V SD Negeri—sudah belajar berbagai macam hal yang baru saya peroleh di sekolah menengah. Misal, kecepatan aliran air ke dalam akuarium.
Selain itu, ia juga belajar tentang berbagai macam konsep yang di zaman saya dulu baru dibahas di SMA dan perguruan tinggi. Sulitnya, karena semua serba daring, ia tak dapat bertanya langsung kepada guru, sementara orangtua tak bisa dengan mudah memberikan penjelasan yang dibutuhkan. Boleh dikatakan apa yang dipelajari adalah ”teori-teori” yang butuh pemahaman luas.
Untuk menambah kompleksitas, mereka diberi bahan belajar yang harus dibaca sendiri dan kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kebanyakan bersifat hafalan dan pilihan ganda. Kegiatan penalaran, kalaupun ada, minim sekali; selain kemampuan mencari informasi.
Apa yang sebenarnya hendak diajarkan? Apa tujuan akhir yang hendak dicapai? Bagaimana penahapannya? Sekadar eksperimen? Ganti menteri ganti kebijakan. Jangan-jangan kita memang tidak punya konsep.
ZAINOEL B BIRAN
Pengamat Sosial, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Tanggapan Agraria
Menanggapi surat Saudara B Haryanto di harian Kompas (Kamis, 1/4/2021), kami mengucapkan terima kasih.
Agar kami bisa memperbaiki kinerja, baik dalam hal sumber daya manusia maupun sistem, kami mohon menjelaskan permasalahan lebih lanjut, dilengkapi dokumen terkait, melalui WA hotline kami 081316380002.
MOCHAMAD SAUKI
Kepala Subbagian Tata Usaha, Kantor Pertanahan, Jakarta Timur
KPR Subsidi
Sebagai orang kontrakan, mendengar ada KPR subsidi langsung semangat. Saya ke BRI Sleman, Yogya, dapat info sebagai berikut. DP rumah 1 persen, tetapi pengembang minta minimal 5 persen. Ada asuransi jiwa, kalau debitor meninggal dianggap lunas. Pengembang di Godean, Sleman, memahaminya asuransi untuk rumah. Kalau rusak ada jaminan perbaikan. Rumah tipe 30, luas tanah 60 m persegi.
Pengembang di Solo Raya, Jateng, menetapkan harga kelebihan tanah per meter Rp 1,5 juta, rumah menghadap ke timur tambah Rp 5 juta, pinggir jalan (tipe hook) tambah Rp 5 juta. Itu di luar DP, biaya KPR, BPHTB, dan BBN. Semua bayar di depan.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan meringankan beban konsumen, mulai 1 Maret 2021, BI mengumumkan DP KPR menjadi 0 persen. Bank biasanya telat merespons. Yang jelas karena harga rumah tetap, angsuran bulanan akan naik.
Kalau ingin sukses program sejuta rumah dan pemerintah betul-betul membantu rakyat miskin berpenghasilan sekitar Rp 4 juta per bulan, realisasikan DP 0 persen dan turunkan bunga bank. Kurangi biaya KPR, BBN, dan BPHTB yang memberatkan rakyat kecil.
WORO SUCI RAHAJENG
Jl Srikando Grogol, Dukuh Sidomukti, Kota Salatiga