Ketika setiap negara berupaya menghentikan penularan dengan menutup perbatasan, membatasi orang asing masuk, kemudian berebut vaksin begitu tersedia, yang diperoleh sebenarnya sekadar keamanan semu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ketika vaksinasi semakin banyak, ternyata kasus Covid-19 masih melonjak di pelbagai negara. Kita memang tidak boleh euforia karena pandemi masih panjang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, ”Tidak seorang pun aman sampai setiap orang benar-benar aman.”
Adagium ini sungguh mendapatkan konteksnya saat pandemi. Ketika setiap negara berupaya menghentikan penularan dengan menutup perbatasan, membatasi orang asing masuk, kemudian berebut vaksin begitu tersedia, yang diperoleh sebenarnya sekadar keamanan semu.
Dalam dunia yang serba terhubung sekarang, ketika kebutuhan hidup tidak lagi dihasilkan sendiri, ketika transportasi dan pergerakan manusia sedemikian masif, maka pertanyaannya seberapa lama suatu negara bisa menahan serbuan mikroba yang tidak kelihatan itu sekalipun sudah bersusah payah memencilkan diri? Selama di tempat lain korban masih terus berjatuhan, seperti diingatkan WHO, tidak ada satu pun yang aman sampai dunia benar-benar aman.
Kejadian hari-hari ini bisa menjadi refleksi ketika sejumlah kasus baru naik signifikan di sejumlah negara. Kompas, Rabu (14/4/2021), menyebutkan, dalam satu bulan terakhir terjadi lonjakan kasus di India (143.085 kasus), diikuti Brasil (71.174), Turki (53.425), Jerman (16.861), dan Indonesia (4.873). Bukan hanya negara berkembang, bahkan Jerman pun—yang di awal pandemi menuai banyak pujian karena berhasil meredam penularan—kembali memasuki fase kritis pandemi.
Hingga Rabu kemarin, kasus positif Covid-19 sudah mencapai 138,12 juta. Dari jumlah itu, yang sembuh mencapai 111,13 juta orang dan meninggal 2,97 juta orang. Meskipun saat ini metode pengobatan sudah semakin akurat dan vaksinasi semakin banyak cakupannya, menekan angka kasus penularan ternyata tidak semudah teori di atas kertas.
Bagi manusia sebagai makhluk sosial, yang merayakan setiap peristiwa dengan keluarga, teman, atau kelompoknya, tak mudah untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Tidak mudah pula berdisiplin mengenakan masker karena wajah sebagai identitas menjadi tidak dikenal. Pelbagai pelanggaran ini mengakibatkan seluruh perayaan kemanusiaan berpotensi meningkatkan kasus.
Tidak ada jalan lain, dunia memang harus bergerak bersama mengatasi pandemi. Selain aksi lokal kembali mengingatkan pentingnya menaati protokol kesehatan, perlu aksi global untuk penguatan sistem kesehatan yang menjamin distribusi dan akses yang adil terhadap tes, pengobatan, dan vaksin. Kenyataannya, meski ada COVAX yang menjamin akses vaksin terhadap 180 negara peserta, tetap ada yang tertinggal dalam pengadaan vaksin, seperti negara-negara Afrika.
Alih-alih mengunci diri, dibutuhkan solidaritas tiap negara untuk menyinkronisasikan respons global. Masih berlanjutnya penularan Covid-19 mengingatkan agar manusia menahan diri. Di tingkat yang lebih tinggi, perlu kerelaan berbagi. Tanpa bergerak bersama, tidak ada yang benar-benar aman.