Meskipun membuka peluang bagi perusahaan untuk berdialog dengan pekerja, THR tetap harus dibayar sebesar satu bulan gaji. Untuk memenuhi kewajiban itu, boleh jadi perusahaan terpaksa meminjam dana dari lembaga keuangan,
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pemerintah mewajibkan perusahaan membayar penuh tunjangan hari raya kepada pekerjanya, terdampak atau tidak oleh pandemi Covid-19.
Menurut Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, tunjangan hari raya (THR) keagamaan wajib dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya paling lambat tujuh hari sebelum hari raya. Besar THR adalah satu bulan gaji.
Perusahaan yang terkena dampak negatif pandemi diberi kesempatan berunding dengan pekerja dan dimediasi gubernur, bupati, dan wali kota. Pada akhirnya, THR tetap harus dibayarkan satu hari sebelum hari raya. Pengawasan pembayaran THR diserahkan kepada kepala daerah.
Ketentuan pemerintah mengenai THR memberi kepastian kepada pekerja mendapatkan hak yang diperjanjikan dan memberi pekerja kesempatan memenuhi berbagai kebutuhan menjelang hari raya, seperti kebiasaan masyarakat kita. Tidak pelak, belanja para pekerja ikut menyumbang pada perbaikan ekonomi yang lumpuh akibat pandemi. Pada sisi lain, tidak semua pemberi kerja dapat memenuhi kewajiban kepada para pekerja. Ada perusahaan yang sebelum pandemi pun bisnisnya sudah mengalami kesulitan, tetapi ada juga perusahaan sehat yang kesulitan arus kas akibat pandemi Covid-19.
Meskipun membuka peluang bagi perusahaan untuk berdialog dengan para pekerja, THR tetap harus dibayar sebesar satu bulan gaji. Untuk memenuhi kewajiban itu, boleh jadi perusahaan terpaksa harus meminjam dana dari lembaga keuangan. Seyogianya pemerintah membantu perusahaan yang dapat membuktikan kesulitan dana tunai mendapatkan pinjaman dari bank. Insentif lain, seperti pengurangan pajak dan biaya listrik, pun dapat terus diberikan bagi semua perusahaan agar terhindar dari situasi terpaksa tutup.
Pandemi Covid-19 membawa perubahan besar dalam berbagai sektor, tidak terkecuali dalam model bisnis dan sistem penggajian. Kita belajar bagaimana saat Tembok Berlin runtuh, Jerman Barat mentransformasi ekonomi dan sistem pengupahannya agar Jerman Timur tak menarik ke bawah kesejahteraan pekerja di Jerman, seraya menjaga ekonomi Jerman tetap tumbuh. Dari Jepang, kita belajar pengaruh pekerja paruh waktu yang bertambah jumlahnya setelah krisis properti tahun 1990-an.
Era pascapandemi harus kita gunakan untuk memikirkan ulang hubungan kerja, produktivitas, dan sistem pengupahan. Satu hal yang sering menjadi diskusi adalah semakin menguatnya ekonomi berbagi dan tumbuhnya ekonomi digital. Model bekerja yang tidak bergantung lagi pada ruang kantor mungkin akan menetap sebagian.
Dalam praktik, salah satu wujud ekonomi berbagi adalah gaji tertinggi di suatu perusahaan harus mempertimbangkan gaji terendah. Karyawan yang merasa ”diorangkan” akan bekerja lebih baik, merasa memiliki perusahaan, dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas dan keuntungan perusahaan.