logo Kompas.id
OpiniIndo
Iklan

Indo

Rasisme kolonial berlanjut dengan menukar ras yang dimuliakan. Warga Indo dianggap kurang Indonesia. Hanya wajah Indo yang laris di film dan iklan.

Oleh
Ariel Heryanto
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/cC3-hsB-wJh7p__wWz8eFOlzNsU=/1024x681/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_15436647_33_0.jpeg
KOMPAS/RIZA FATHONI

Ariel Heryanto

Secara hukum, masyarakat kolonial Hindia Belanda dibagi dua. Ada dua lembaga pengadilan berbeda untuk masing-masing. Pertama, keturunan Eropa dan bangsa-bangsa tertentu yang statusnya disetarakan, termasuk Jepang, Turki, dan Siam. Kedua, warga pribumi dan mereka yang disetarakan, termasuk Timur Asing, misalnya peranakan Tionghoa dan Arab.

Masyarakat jajahan dikelola berdasar sebuah fiksi, yakni identitas ras. Oleh karenanya, ada aturan membatasi perilaku seks, pernikahan, dan akta keturunan. Namun, di mana pun kegiatan seks warga tak mungkin sepenuhnya dikendalikan negara. Hukum kolonial jadi amburadul. Masyarakat kolonial lebih majemuk berwarna-warni ketimbang yang diwacanakan sejarah nasional RI.

Editor:
sariefebriane
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000