Kita tak perlu sempurna. Tuntutan kesempurnaan membuat kita sibuk memfokus pada diri sendiri. Padahal, peduli dan berbagi itu hal yang juga diperlukan agar kita dapat merasa bahagia dan sehat mental.
Oleh
Kristi Poerwandari
·4 menit baca
Semua orang pernah merasa kurang percaya diri karena ada bagian dari diri yang dianggap kurang atau ia merasa tidak berkenan. Kurang pandai, kurang cantik, kurang ganteng, kurang berkecukupan, kurang terkenal, kurang dicintai, dan seterusnya. Sekarang, ”rasa diri kurang” makin dikuatkan oleh kebiasaan menghabiskan waktu menggunakan media sosial dan membandingkan diri dengan orang-orang lain yang dipersepsi tampil serba lebih keren.
Remaja dan orang muda memang dalam fase sedang banyak mempertanyakan diri untuk dapat menemukan identitas diri positifnya. Tentu yang pernah muda di masa lalu pun kadang atau mungkin sering merasa diri kurang. Tetapi, sepertinya di masa kini, anak-anak muda—bukan atas keinginannya sendiri— lebih mudah terjebak dalam situasi menilai diri dan membandingkan diri dengan orang lain.
Pembandingan sosial
Evaluasi terhadap diri paling mudah dilakukan dalam pembandingan dengan orang lain, dan pembandingan dengan orang lain paling mudah dilakukan dengan melihat tampilan luar. Gambaran percintaan dua orang yang tampil keren, berpelukan penuh senyum di Instagram mungkin membuat yang menontonnya ingat diri sendiri yang baru putus pacaran, atau belum memiliki pasangan.
Ada pula video Youtube artis yang memberikan hadiah mobil mewah kepada anaknya dan memamerkan rumahnya yang sangat besar dan megah. Gambarannya sangat berkebalikan dengan kehidupan nyata kita yang mungkin masih bingung bagaimana dapat membayar uang kuliah.
Di masa lalu, orang mungkin juga lebih mudah mengupayakan kompensasi untuk dapat merasa diri positif. Misalnya, yang paham bahwa wajah dan tubuhnya biasa-biasa saja—meski awalnya bermimpi jadi pemain film—memotivasi diri untuk lebih tekun belajar agar dapat lebih berprestasi di sekolah. Dapat pula sebaliknya, yang lain merasa cukup bahagia dapat berprestasi di bidang olahraga atau seni, dan tidak demikian mempersoalkan nilai-nilai pelajaran sekolah yang biasa-biasa saja.
Kami cukup sering menemukan mahasiswa yang sudah sangat berprestasi di dunia akademik maupun non-akademik yang ternyata masih merasa diri kurang. Bila indeks prestasinya 3,6, ia merasa seharusnya dapat memperoleh 3,8 seperti sahabatnya. Ia merasa kurang puas telah ikut pertukaran mahasiswa ke Korea karena temannya memperoleh beasiswa ke Inggris.
Pembandingan sosial tampaknya tidak hanya dilakukan oleh anak atau remaja itu sendiri, tetapi kadang kala oleh orangtua juga. Tanpa disadari, orangtua kemudian akan menuntut kesempurnaan dari anaknya.
Dari ruang konseling kami menemukan anak-anak muda yang merasa kecewa kepada diri sendiri, tidak melihat sesuatu hal positif apa pun dari dirinya, meski sesungguhnya memiliki banyak kelebihan dan prestasi.
Ketika dicoba digali lebih lanjut, terungkap cerita mengenai ayah yang berulang mengeluh telah mengeluarkan banyak biaya bagi anak, berharap anak dapat lebih berprestasi lagi, dan lulus sarjana dalam waktu 3,5 tahun untuk meringankan bebannya. Ada pula misalnya ibu yang membanding-bandingkan penampilan sang anak dengan remaja-remaja lain yang dianggap lebih dapat membanggakan orangtua.
Tidak perlu sempurna
Di Youtube saya terpana dengan peragaan kepiawaian memoles wajah, yang menghadirkan tampilan wajah yang sama sekali baru, menjadi luar biasa cantik dan sempurna. Di satu sisi kita belajar mengenai bagaimana dapat mendandani diri agar tampil jauh lebih menarik. Di sisi lain video itu sekaligus mengingatkan kita bahwa kesempurnaan itu adalah polesan, semu, bukan yang riil, berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Dalam era yang menghadirkan tampilan serba ”wah” dan kesempurnaan, sepertinya kita perlu secara berkala mengingatkan diri bahwa di balik yang terlihat sempurna itu tetap ada hal-hal yang tidak sempurna. Bahwa yang tidak sempurna itu manusiawi adanya.
Menuntut diri menjadi sempurna itu tidak realistis dan hanya akan merugikan diri sendiri. Karena itu, menuntut yang serba sempurna dari anak sesungguhnya justru juga akan merugikan anak. Ada cukup banyak laporan penelitian yang menemukan bahwa terlalu terpaku pada tuntutan kesempurnaan justru membuat kita rentan untuk masuk pada masalah-masalah kesehatan mental.
Penjelasannya sesungguhnya dapat diuraikan dengan penalaran sederhana. Tuntutan kesempurnaan membuat kita sibuk dengan hal-hal negatif sehingga tidak mampu melihat hal-hal positif. Karena sibuk melihat yang negatif, kita dengan sendirinya juga menjadi sulit bersyukur. Padahal, bersyukur berhubungan dengan kesehatan mental dan kemudahan untuk merasa bahagia.
Tuntutan kesempurnaan juga membuat kita sibuk memfokus pada diri sendiri sehingga tidak dapat memberikan perhatian pada dunia luar dan orang-orang lain. Dalam istilah Adler, seorang tokoh psikologi klasik, individu jadi sulit mengembangkan social interest, minat dan kepedulian pada lingkungan sosialnya. Padahal, peduli dan berbagi itu hal yang juga diperlukan agar kita dapat merasa bahagia dan sehat mental.
Kita tentu ingin menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, serta menampilkan yang terbaik sesuai potensi yang dititipkan kepada kita. Itu sama sekali bukan berarti kita harus tampil menjadi manusia sempurna.
Orangtua yang menuntut kesempurnaan dari anak perlu menyadari bahwa tuntutannya hanya akan membuat anak merasa tidak aman, terus menghayati kecemasan akan penolakan, sekaligus merasa sulit untuk dapat menerima dan menyayangi diri.
Mengapa? Karena orangtua hanya menerimanya secara bersyarat, yakni saat ia memenuhi konsep ideal dari orangtua. Sesungguhnya orangtuanya sendirilah yang telah menghalanginya untuk mampu menerima dan menyayangi diri.