Regulasi Media Sosial Muncul karena Ancaman Kekacauan Informasi
Apakah media sosial perlu diregulasi? Isu meregulasi media sosial makin kuat untuk menjamin bahwa platform sejak awal dibuat secara benar.
Awal pekan ini sebuah media televisi luar negeri membahas tentang kemungkinan meregulasi media sosial. Pembahasan ini muncul setelah sejumlah eksekutif perusahaan teknologi dipanggil DPR Amerika Serikat.
Para eksekutif itu dimintai keterangan terkait media sosial dan aksi penyerbuan Gedung Capitol. Isu meregulasi media sosial makin kuat untuk menjamin bahwa platform sejak awal dibuat secara benar.
Sebenarnya akhir tahun lalu, beberapa media juga membahas soal kemungkinan meregulasi media sosial. Laman BBC pada bulan November tahun lalu, mengutip sebuah laporan Forum for Information and Democracy menyebutkan, kekacauan informasi bisa terjadi dan akan mengancam demokrasi bila informasi mengalir tak terkendali seperti sekarang ini.
Mereka tidak lagi mempermasalahkan pengawasan secara konten saja, tetapi lebih kepada desain awal teknologi yang digunakan. Salah satu sarannya, algoritma dan fungsinya bisa diserahkan ke peneliti atau inspektur. Hal itu agar teknologinya bisa diperiksa secara independen sehingga bisa dikategorikan aman dan berkualitas bagi keamanan negara. Lembaga ini lebih dalam lagi menyoroti tentang kemungkinan penyalahgunaan teknologi dalam pembuatan platform.
Lembaga itu melakukan riset untuk membuat rekomendasi bagi 28 negara seperti Kanada, Australia, Jerman, India, dan Korea Selatan. Sesuatu yang penting dari rekomendasi ini adalah kewajiban pemilik platform untuk menjamin keamanan dan kualitas konten.
Alasannya semua produk, semisal panci sekalipun, selama ini juga telah memberi jaminan keamanan dan kualitas kepada konsumennya. Platform media sosial juga harus memberikan jaminan yang sama kepada para audiensnya.
Oleh karena itu, para pemilik platform disarankan perlu mempertimbangkan potensi kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh desain dan keputusan teknik pada awal pembuatan platform. Beberapa rekomendasi lain yang disarankan oleh lembaga itu antara lain, pemilik platform harus memiliki fasilitas pemutus jaringan ketika sebuah hoaks atau misinformasi tersebar. Penyedia platform juga harus membuka secara resmi alasan rekomendasi konten untuk para pemakai, membatasi pesan-pesan iklan dengan target mikro, dan fasilitas yang mempersulit pengguna untuk menghapus akun atau konten harus dihilangkan.
Setelah itu tidak banyak media yang membahas soal regulasi media sosial itu. Sekian bulan tidak dibahas, masalah regulasi media sosial dari sisi teknologi kembali dibahas beberapa media akhir Februari lalu hingga awal pekan ini.
Baca juga: Mengapa Media Sosial Berbasis Suara Menjadi Tren?
Sebuah tulisan di The New York Times menyoroti regulasi media sosial dari sisi ekonomi. Penulis melihat bahwa dorongan desain platform untuk mendapatkan pendapatan sebesar-besarnya menjadikan mereka membuat rekayasa dan teknik yang memungkinkan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Kritik tulisan itu adalah di kemampuan teknologi untuk memahami perilaku pengguna dan memanfaatkannya untuk kepentingan iklan. Model bisnis ini tidak mempertimbangkan aspek lain seperti keamanan dan stabilitas politik sebuah negara.
DPR Amerika Serikat sendiri memanggil perusahaan teknologi karena melihat kemungkinan penyalahgunaan teknologi itu. Negara sangat berkepentingan ketika disinformasi mudah meluas, ujaran kebencian, dan juga teori konspirasi menyebar, maka negara bakal terancam.
Insentif ekonomi yang besar sejalan dengan penggunaan media sosial yang masif dan juga kreasi konten, mengakibatkan pemilik platform lupa bahwa sejumlah orang memanfaatkanya dengan tidak benar. Konten yang dibuat dengan baik pun juga belum tentu digunakan secara benar oleh beberapa orang.
Hanya karena demi viral dan mendapat banyak pengikut, pengguna platform dengan bebas membuat konten, dan teknologi pemilik platform memfasilitasinya. Mereka yang berhenti melakukannya akan terdisinsentif alias tidak lagi mendapatkan uang dari pengelola platform. Lalu lintas ramai di platform akan menguntungkan kedua pihak, yaitu pengguna dan pemilik platform.
Secara khusus, tulisan itu juga mengkritik beberapa model bisnis yang menyebabkan orang mudah mendapat konten-konten yang disukai. Model bisnis ini dibaca oleh para membuat konten sehingga mereka bisa menyebarkan konten secara mudah. Model bisnis seperti ini sangat membahayakan stabilitas politik dan sosial karena orang-orang yang berniat jahat dengan mudah menyebarkan kontennya dengan strategi yang tidak begitu rumit.
Model bisnis itu mudah sekali memunculkan polarisasi. Polarisasi politik semacam “Cebong” versus “Kampret” di Indonesia mudah sekali terjadi melalui model bisnis seperti ini. Di Amerika Serikat semisal memunculkan pengerasan antara pendukung liberal dan konservatif. Mereka bahkan makin mengarah kepada kesukuan atau tribalisme politik. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang yakin dengan kebenaran versi mereka sendiri.
Baca juga: Clubhouse Menjadi Tanda Akhir Zaman bagi Medsos Jorok
Secara khusus, majalah bisnis ternama Harvard Business Review membahas masalah ini dalam edisi Januari lalu dengan judul "Are We Entering a New Era of Social Media Regulation?". Penulis melihat bahwa basis media sosial berbeda dengan media tradisional yang melalukan tradisi jurnalistik dengan melakukan verifikasi fakta. Media elektronik tradisional memiliki banyak pembatasan sementara media sosial tidak dibatasi sama sekali. Oleh karena itu, masalah pun bermunculan.
Keduanya memang mengejar pendapatan, namun media tradisional memiliki banyak batasan sementara sampai sekarang media sosial masih sangat bebas. Media sosial yang mudah sekali membuat target dan menyasar audiens menyebabkan mereka mengikuti keinginan audiens dan melayaninya agar audiens berlama-lama di platform sehingga bisa mendatangkan uang dari para pengiklan. Polarisasi politik terjadi karena platform bisa mengarahkan konten ke orang-orang yang cocok dengan yang diinginkan.
Tulisan di Harvard Business Review itu juga memberi beberapa saran seperti tindakan sukarela yang dilakukan oleh pengelola platform, seperti menghentikan sebuah akun ketika mengetahui akun itu menebar informasi yang membahayakan. Secara halus, penulis juga menyarankan agar platform media sosial segera melakukan keputusan penting apakah tetap menjalankan bisnis seperti sekarang ini atau mulai melakukan moderasi agar kejahatan di media sosial bisa dicegah.
Beberapa pendapat itu pasti didengar oleh para pemilik platform. Mereka tidak mau audiens ramai-ramai meninggalkan mereka. Sepintas para perusahaan media sosial juga mulai melakukan perubahan. Mereka mulai memilih konten-konten premium. Mereka juga memantau peredaran hoaks. Dalam waktu tidak lama lagi, kita bisa melihat perubahan yang lebih nyata di media sosial sehingga kita bisa melihat media sosial makin bersih dan sehat.