Sebelum memberlakukan aturan baru, ada baiknya tanda-tanda lain yang sudah ada dan berlawanan arti segera dihapus. Dengan demikian, masyarakat juga bisa menaati aturan dengan baik dan tidak perlu kena tilang.
Oleh
Djoko Madurianto Sunarto
·3 menit baca
Bulan Maret ini, grup ngobrol kami ramai membahas sistem tilang elektronik, dari teknologi yang digunakan hingga cara mengecek kendaraan kita kena tilang. Tujuan mendisiplinkan masyarakat agar makin bijak berlalu lintas patut kita dukung.
Kebijakan baru tentunya bisa memunculkan proyek baru. Masalah akan muncul apabila dalam anggaran kebijakan baru itu tidak dihitung biaya untuk membereskan proyek-proyek terdahulu sehingga terjadi tumpang tindih antara proyek lama dan proyek baru.
Di jalan-jalan di Yogyakarta, misalnya, bisa kita lihat hasil proyek terdahulu berupa rambu-rambu lalu lintas dua arah. Sementara peraturan baru menghasilkan marka-marka jalan satu arah. Kalau dibiarkan, hal ini seperti mengajarkan kepada masyarakat untuk melanggar aturan. Belum lagi kebingungan kepada para wisatawan.
Bagaimana psikologis kita jika mengendarai kendaraan pada jalan searah di jalur cepat sebelah kanan, padahal ada marka jalan tanda panah yang berlawanan dengan arah kita? Belum lagi marka jalan berupa panah belok kiri atau belok kanan, tetapi sekarang jalan berubah menjadi satu arah dengan arah yang berlawanan.
Di lokasi lain ada marka jalan yang bergeser lebih lebar ketika mencapai lampu pengatur lalu lintas. Ada juga marka jalan yang belum bergeser, padahal beton pemisah jalan sudah berpindah.
Oleh karena itu, sebelum memberlakukan aturan baru, ada baiknya tanda-tanda lain yang sudah ada dan berlawanan arti segera dihapus atau diubah. Dengan demikian, masyarakat juga bisa menaati aturan dengan baik dan tidak perlu terkena sistem tilang elektronik.
Semoga surat ini juga mendorong anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah meningkatkan pengawasan.
DJOKO MADURIANTO SUNARTO
Jalan Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Masih Abai
Mengamati pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama ini, tampaknya perlu campur tangan pemerintah untuk penegakan disiplin karena masih banyak yang abai protokol kesehatan.
Ada dua hal yang perlu diawasi dalam hal jaga jarak dan memakai masker, yaitu pengoperasian angkutan kota (angkot) dan pasar tradisional.
Untuk bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat udara, jumlah penumpang telah diatur maksimal 50 persen dari jumlah tempat duduk. Sayangnya, ini tidak berlaku untuk angkot. Di angkot, penumpang masih berdesakan, sebagian besar tidak memakai masker.
Di pasar tradisional juga demikian. Pembeli berjubel, sebagian besar penjual dan pembeli tidak bermasker, digantung di leher, atau dipakai di bawah hidung.
Pemberlakuan PPKM perlu disertai penegakan disiplin protokol kesehatan agar pandemi segera berakhir.
WINARSO SUROSEWOKO
Mekar Rahayu, Margaasih, Kabupaten Bandung 40218
Kita Tunggu
Sejak Bung Karno pada Jumat, 17 Agustus 1945, mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, rakyat mendukung untuk mengabdi kepada negara dan bangsa tanpa pamrih.
Kita mengenang dengan penuh hormat kepada Bung Hatta, H Agus Salim, dr Johannes Leimena, Ibu Maria Ulfah, juga Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan semboyan ”Takhta untuk Rakyat”.
Para pemimpin waktu itu bekerja giat untuk kesejahteraan bangsa dan negara, tidak memikirkan diri sendiri.
Setelah 75 tahun merdeka, Indonesia dinyatakan dalam darurat korupsi (Kompas, 4/2/2021). Kita terus disorot oleh Transparancy International karena tingginya kasus korupsi. Tahun 2020, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada peringkat ke-102 di antara 180 negara.
Korupsi itu merugikan bangsa dan negara. Mari kita perbaiki diri dan tata kelola agar bersih dan transparan.