Kemenangan Grand Master Wanita (WGM) Irene Kharisma Sukandar atas Dadang Subur juga kemenangan proses lahirnya bintang dan ketekunan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Catur Indonesia bergaung keras di dunia internasional, celakanya, bukan karena prestasi, melainkan gara-gara ulah Dadang Subur alias ”Dewa Kipas”. Akun ini bertarung catur daring melawan Master Internasional (IM) Levy Rozman (Gotham Chess) di Chess.com dan menang. Namun, kemenangan itu diduga karena curang.
Polemik menjadi-jadi karena publik terbelah, yakni mereka yang yakin Dadang ”Dewa Kipas” Subur curang dan di sisi lain mereka yang membela Dadang, bahkan menilainya sebagai aset nasional yang tersia-siakan.
Namun, kemenangan itu diduga karena curang.
Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi), sebagai federasi olahraga catur nasional, menilai Dadang menodai fair play. Mengingat, berdasarkan bedah data, grafis akurasi langkah Dadang Subur tak normal selama bermain di aplikasi Chess.com mulai 22 Februari 2021.
Chess.com juga memastikan bahwa akun ”Dewa Kipas” alias Dadang Subur ditutup karena melanggar fair play. Gerakan main ”Dewa Kipas” tidak selayaknya manusia normal, tetapi seperti mesin catur atau alat bantu (Kompas, 13/3/2021 dan 15/3/2021). Itu belum termasuk komunitas pecatur nasional dan internasional, yang menurut Irene Kharisma, banyak mendukung dirinya menghadapi Dadang.
Sebaliknya, tak sedikit yang membela ”Dewa Kipas”, mayoritas semata dengan prinsip nasionalisme. Sangat disayangkan, pembelaan di jagat maya itu disuarakan melalui pernyataan-pernyataan yang kurang bijak.
Lontaran-lontaran pendapat itu sejalan dengan hasil survei Microsoft Digital Civility Index 2021, yang menempatkan warganet Indonesia di peringkat ke-29 terparah dari 32 negara di Asia Tenggara. Survei itu mengategorikan warganet Indonesia sebagai ”tidak sopan”.
Kemenangan Irene tak pelak pembuktian tentang perlunya proses panjang lahirnya seorang bintang olahraga, di dalamnya ada tempaan tidak sederhana yang bisa saja berlangsung puluhan tahun. Andai di calon atlet tak tahan dengan proses pematangan itu, bisa saja ia gagal di tengah jalan.
Irene, misalnya, semasa yunior sering diminta ayahnya untuk memperbanyak latih tanding dengan pecatur di pasar-pasar tradisional di Jakarta. Pematangan berkat sering berduel dengan banyak pecatur itulah salah satu yang menjadikannya menjadi Grand Master Wanita (WGM). Sampai sekarang pun ia masih terus memperkaya kemampuan dengan giat berlatih seiring obsesi menjadi Grand Master (GM).
Begitu pula atlet-atlet di cabang olahraga lainnya. Singkat kata, seorang juara tidak lahir tiba-tiba. Maka, tak heran jika seorang atlet berkelas internasional, seperti Irene, yang sudah kerap mewakili Indonesia relatif mudah mengalahkan Dadang Subur yang diduga kuat curang dalam catur daring. Yang satu matang berproses, yang satu maunya lewat jalan pintas.
Upaya Dadang, dalam hal ini mencoba menyiasati celah dalam catur daring, mengingkari proses hakiki menuju bintang. Upaya semacam itu meninggalkan kejujuran yang harus dipegang erat para atlet, seperti ditekankan Ketua Umum PB Percasi GM Utut Adianto: ”Pemain catur harus jujur”.