Pertemuan di Alaska krusial. Dunia, termasuk Indonesia, patut merasa gembira karena dua negara besar itu menyadari pentingnya membangun komunikasi strategis. Namun, kita harus menyadari pula, kompetisi terus terjadi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pertemuan pejabat tinggi Amerika Serikat dan China di Alaska telah berakhir. Hampir tidak ada yang berubah. Kedua negara tetap akan bersaing keras di berbagai bidang.
Dalam pertemuan yang dihadiri Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menlu China Wang Yi itu, kedua negara memang berpandangan sama dalam isu perubahan iklim, yakni mereka perlu bekerja sama untuk mengatasinya. Namun, hal itu tak mengubah postur persaingan keduanya. Ada kompetisi yang akan tetap terjadi di antara mereka dan terus memanas pada masa-masa mendatang.
Pertemuan di Alaska, salah satu negara bagian di AS, harus dilihat sebagai wujud kesediaan kedua negara untuk tetap menjalin komunikasi, setajam apa pun perbedaan kepentingan ataupun pandangan mereka. Pembicaraan pada 18-19 Maret itu sama sekali bukan awal bagi hubungan yang lebih mesra. Pertemuan di Alaska justru menegaskan China yang berkembang berkat pembangunan beberapa dekade terakhir merupakan kekuatan utama yang dapat menandingi AS.
Persaingan China-AS tak sekadar ”lomba mengurangi defisit perdagangan”. Tak sekadar persaingan teknologi 5G. Bahkan, persaingan mereka tak sekadar adu kekuatan militer seperti era Perang Dingin AS-Uni Soviet atau perbedaan pendekatan dalam isu Taiwan. Ada sesuatu yang lebih fundamental.
Hal ini tecermin pada pernyataan Direktur Kebijakan Luar Negeri Politbiro Partai Komunis China Yang Jiechi, tokoh delegasi China dalam pertemuan di Alaska. Seperti dikutip media China, Global Times, ia mengatakan, China tak melihat bahwa mayoritas negara di dunia mengakui nilai universal yang dipromosikan AS. Ia menegaskan pula, China tak melihat pendapat AS mewakili opini publik internasional.
China menunjukkan dirinya siap menantang atau membalik apa yang selama ini dianggap benar oleh AS. Dengan kekuatan yang dimilikinya, Beijing tak sekadar beretorika. China bukan negara terkucil yang sedang berusaha mencuri perhatian dunia internasional. China merupakan negara dengan peran sangat penting—sesuatu yang dapat dilihat dari fakta vaksin produknya dipakai di banyak negara.
AS-China menyadari hal itu: hubungan mereka sudah tak sama lagi dengan relasi keduanya pada dekade-dekade silam. Dengan kesadaran itulah, kedua negara bertemu di Alaska. Dengan kesadaran yang sama pula, delegasi AS-China meninggalkan wilayah Alaska yang dingin.
Evan Medeiros, bekas Direktur China pada Dewan Keamanan Nasional AS, menulis pada Foreign Affairs bahwa kebijakan untuk menghadapi China harus merefleksikan kompetisi sebagai inti hubungan AS-China. Namun, kebijakan itu juga harus mampu membangun relasi yang dapat menghadapi perbedaan kepentingan keduanya.
Pertemuan di Alaska krusial. Dunia, termasuk Indonesia, patut merasa gembira karena dua negara besar itu menyadari pentingnya membangun komunikasi strategis. Namun, kita harus menyadari pula, kompetisi terus terjadi.