Di Mana Restorasi Ekosistem
Bayangkan diri kita sebagai pengemudi bus umum antarkota yang sepanjang jalan dikomentari terus oleh penumpang. Alih-alih bisa mengemudikan bus dengan baik, dia justru bisa kehilangan konsentrasi dan kewaspadaan.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan (2/2/2021) sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja, berakhirlah masa berlaku beberapa PP turunan UU Nomor 41 Tahun 1999 yang digunakan sebelumnya.
PP yang terdiri atas 302 pasal ini tampaknya sangat komprehensif dan representatif dalam memperbaiki dan menyempurnakan PP sebelumnya yang tercerai berai dan di sana sini banyak tumpang tindih pasal-pasalnya.
Beberapa masalah krusial yang kontroversial dalam UU Cipta Kerja dapat dijawab dengan tuntas dalam PP ini tanpa harus digantung atau menunggu terbitnya peraturan menteri. Ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri dalam PP ini sifatnya normatif.
Sayangnya, meskipun PP ini dianggap cukup lengkap dalam mewadahi penyelenggaraan kehutanan, kegiatan kehutanan pemanfaatan hutan produksi melalui kegiatan izin usaha pemanfaatan usaha hasil hutan kayu restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) dalam PP ataupun penjelasannya tidak lagi disertai kegiatan restorasi ekosistem.
Padahal, dalam PP Nomor 7 Tahun 2006 Pasal 34 Ayat (1) disebutkan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha sebagai berikut. a) pemanfaatan hasil hutan kayu; atau b) pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem.
Dalam penjelasan Ayat (1b) disebutkan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam ditujukan untuk mengembalikan unsur hayati maupun unsur nonhayati pada suatu kawasan dengan jenis asli sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
Lantas bagaimana nasib izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) yang selama ini telah berjalan? Sebagai catatan, jumlah perusahaan yang mendapat izin RE ada 16 buah, dengan luas sekitar 600.000 ha. Masihkah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P159/2004 tentang restorasi ekosistem tetap berlaku?
Pertanyaan di atas perlu dijawab oleh pihak KLHK karena sudah tidak ada UU maupun PP yang menaungi kegiatan restorasi ekosistem tersebut.
PRAMONO DWI SUSETYO
Pensiunan KLHK, Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Tanggapan Halodoc
Sehubungan dengan surat pembaca di Kompas berjudul ”Vaksinasi Tahap 2” (Rabu, 10/3/2021) dari Bapak The Tjai Ong, izinkanlah kami memberikan tanggapan.
Sebelumnya, kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami Bapak The Tjai Ong. Kami telah menghubungi beliau untuk klarifikasi melalui telepon pada 10 Maret 2021 pukul 20.20 WIB, diterima Ibu Yeni dengan baik selaku keluarga.
Dapat kami informasikan bahwa saat Bapak The Tjai Ong menghubungi bagian layanan pelanggan pada 5 Maret 2021, detail penjadwalan vaksinasi tahap dua di Pos Pelayanan Vaksinasi Covid-19 Drive Thru Halodoc di Kemayoran masih dalam tahap koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
Pada 8 Maret 2021, penerima vaksin tahap pertama sudah mulai mendapatkan SMS untuk mendaftarkan diri secara bertahap (maksimal 10 hari setelah vaksin dosis pertama) untuk mendapatkan vaksinasi dosis kedua. Mulai dari penerima vaksin dosis pertama pada 3 Maret 2021.
Bapak The Tjai Ong sudah mendaftar vaksinasi kedua pada 9 Maret 2012 dan terdaftar untuk vaksinasi tanggal 2 April 2021 pukul 13.00 di lokasi yang sama.
Terima kasih atas masukan yang disampaikan. Sebagai mitra resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam percepatan program vaksinasi Covid-19, Halodoc berkomitmen pada layanan berkualitas guna menyukseskan program vaksinasi Covid-19.
ADELINE HINDARTO
Government Relation & Corporate Affairs Halodoc
Menyikapi Kritik
Tulisan Sdr Muktiyo berjudul ”Komunikasi Kritik, Kualitas Demokrasi, dan Kemajuan Bangsa” di harian Kompas (6/3/2021) menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Dikatakan bahwa kritik hendaknya bersifat konstruktif, mengacu ke solusi, agar ada manfaatnya. Ada cara yang patut menyampaikan kritik.
Kebebasan mengkritik adalah hak warga di negeri demokratis ini. Itu pula yang diminta Presiden Joko Widodo belum lama ini. Kritik saya! Beliau sadar bahwa kecaman, sekalipun disampaikan secara keras dan tajam, juga mengindikasikan kepedulian pada negeri ini.
Kebetulan di media sosial tengah viral video yang menegaskan bahwa negara dan pemerintah itu dua entitas yang berbeda. Secara demokratis negara milik rakyat, sementara pemerintah adalah pengelola yang dipilih melaksanakan kepentingan rakyat.
Kritis terhadap pemerintah tidak berarti tidak cinta negara. Ini sering disalahartikan. Sikap kritis, sebagaimana diungkap, justru menyiratkan cinta negara agar pengelola bekerja baik dan benar.
Diberikan pula contoh-contoh menarik. Salah satunya negara diibaratkan pesawat terbang dengan para penumpangnya. Pengelola adalah pilot dan awak lain pesawat itu. Mereka bertanggung jawab membawa pesawat dan penumpang ke tempat tujuan dengan selamat.
Terhadap video viral itu, ada reaksi yang menekankan bahwa ”mengkritik” dan ”merecoki” adalah dua hal yang berbeda. Benar juga. Jika tujuannya untuk kebaikan bersama, kritik merupakan suatu hal yang sahih dan berguna. Tetapi, kalau untuk ”mengusik, mengacau” (Jawa: ngerusuhi; Banyumas: nggerecoki), maka itu hanya memunculkan masalah.
Bayangkan diri kita sebagai pengemudi bus umum antarkota yang sepanjang jalan dikomentari terus oleh penumpang. Alih-alih bisa mengemudikan bus dengan baik, dia justru bisa kehilangan konsentrasi dan kewaspadaan.
Hal ini tentunya beda dengan mengemudi pesawat terbang atau kereta yang sudah ada aturan, prosedur, dan mekanisme baku yang tak bisa diutak-atik. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan jelas bisa mengganggu perjalanan.
Kerja sebagai pengemudi bus membutuhkan konsentrasi tinggi. Kerja ini bisa terusik karena berbagai macam komentar, apalagi yang tak keruan juntrungannya.
Abaikan saja? Bersabar? Atau bagaimana?
”Belok kiri! Eh, jangan, belok kanan! Salip! E-e-e-e, hati-hati! Ada orang menyeberang jalan. Ada kucing melintas. Jangan-jangan enggak punya SIM! Jalan busnya ngerayap! Mungkin bukan sopir, tetapi kenek! Hei, goblok!”
Sebagai orang waras, kita juga harus tahu diri, agar hal-hal yang kita sampaikan dan atau cara kita menyampaikan memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan. Ada adabnya, karena orang pun punya harga diri.
Memang ujian berat bagi sang pengemudi karena dia harus tetap menjaga kewarasan saat bekerja sekaligus menghadapi segala umpatan. Sebagai pembawa amanah, dia tidak akan mundur karena telah dipilih dan dipercaya melaksanakan pekerjaan itu. Demi kehormatan diri dan pertanggungjawabannya kepada para penumpang dan terutama kepada Tuhan.
Bayangkan pula jika penumpang lain mulai terusik dan merespons balik. "Berisik! Jangan mengganggu konsentrasi sopir! Biarkan dia bekerja sebaik mungkin! Penumpang bus ini bukan hanya kalian!”
Yang tadinya diam saja mulai bicara karena tidak tahan mendengar umpatan. Jadilah adu argumentasi, berkembang menjadi konflik. Chaos.
Selain terganggu ”cara” para pemberi komentar, mereka pun mulai khawatir apakah akan bisa sampai ke tujuan dalam keadaan selamat. Mereka percaya kepada pengemudi dan tidak mau konsentrasinya terganggu.
Kira-kira begitulah yang kini terjadi di negeri kita. Apa yang harus dilakukan? Abaikan? Biarkan mereka ”ngoceh” terus? Biarkan sesama penumpang yang menyelesaikan? Atau turunkan mereka di jalan atau di pos polisi terdekat, agar diangkut bus lain?
Mau dibilang otoriter, tiran, diktator, atau entah apa lagi, sang pengemudi harus tetap bisa bekerja dengan tenang. Bagaimana pun bus harus tetap melaju. Apalagi jalan memang kerap ”bermasalah”, termasuk pandemi Covid-19.
ZAINOEL B BIRAN
Pengamat Sosial, Ciputat Timur, Tangerang Selatan