Kepemimpinan Sains dan Siasat Baru Melawan Pandemi Covid-19
Penyelesaian pandemi memerlukan pendekatan kepemimpinan sains. Apa pun latar belakang politik dan ideologi negara itu, harus berpedoman pada pendekatan mutakhir sains untuk menyelesaikan pandemi.
Setahun pandemi Covid-19, masyarakat global masih berjuang keras menghadapi serangan virus itu dengan kompleksitas dan dinamika tinggi. Karakter virus ditemukan mampu berubah cepat dan membuat para ahli bekerja keras mengendalikannya.
Pandemi ini juga telah menciptakan krisis kesehatan dengan dampak merontokkan ekonomi global serta memberikan pelajaran bahwa kondisi kesehatan masyarakat dan situasi ekonomi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sejarah akan menilai mana pilihan yang diambil oleh negara-negara dalam menghadapi pandemi. Kita semua akan menjadi saksi sejarah.
Jika kita setuju kesehatan lebih penting, mulai saat ini Indonesia harus segera menyusun Sistem Kesehatan Nasional sebagai bagian penting dalam Sistem Ketahanan Bangsa.
Penyelesaian pandemi memerlukan pendekatan kepemimpinan sains. Apa pun latar belakang politik dan ideologi negara itu, harus berpedoman pada pendekatan mutakhir sains untuk menyelesaikan pandemi. Banyak hoaks dan spekulasi yang justru menjauhkan para pengambil kebijakan dari sains dan kini saatnya kita kembali ke jalan ilmu pengetahuan yang benar.
Apakah pandemi akan berakhir dalam waktu dekat atau berlangsung lebih lama dengan aneka mutasi virus yang terjadi? Keduanya serba mungkin, keduanya bisa terjadi.
Kaitan ekonomi dan kesehatan ini sangat signifikan untuk diperhatikan.
Hal terpenting adalah negara dapat segera membuat sistem kebal pandemi sehingga mutasi virus yang terjadi tak lagi menebar ketakutan dan masalah serta pembangunan dapat terus berjalan.
Kaitan ekonomi dan kesehatan ini sangat signifikan untuk diperhatikan. Kelumpuhan ekonomi berdampak langsung terhadap peningkatan infeksi dan kematian (Petersen et al, 2020) sehingga kedua sistem harus dipulihkan secara bersamaan. Dengan demikian, negara bisa terlindungi dari bencana kerusakan ekonomi masyarakat dan kelumpuhan pemerintahan.
Hidup harus bergerak dan penghentian aktivitas hidup akan mengganggu rutinitas ekonomi, bahkan juga menyebabkan stres kronis, yang dalam jangka panjang menimbulkan gangguan imunitas, endokrin, dan sistem saraf (Dahmen et al, 2018; Juruena et al, 2020).
Selangkah di depan virus
Studi menunjukkan, stres berkepanjangan juga membuat terjadinya pelepasan mediator inflamasi di otak sehingga jika terinfeksi Covid-19 cenderung menjadi berat (Brenhouse and Schwarz, 2016), hingga gangguan sistemik (Jiang et al, 2018), menjadi presdisposisi terjadinya gangguan psikopatologis (kecemasan dan depresi) di kemudian hari, menjadi agresif, psikosis, depresi dan neurosis, serta menjadi rentan terhadap infeksi Covid-19 (Ibi et al, 2008; Veenema, 2009; Calcia et al, 2016).
Pertanyaannya, mengapa pandemi belum terkendali, padahal kita sudah melakukan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan)?
Pengkajian hal ini harus terus dilakukan dan usaha mitigasi penyebaran Covid-19 yang belum efektif harus segera diubah dengan metode-metode lain sebelum terlambat dan negara tereliminasi oleh virus. Perlu dipikirkan strategi perlindungan satu langkah di depan serangan virus (one step ahead).
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) telah mengumpulkan sejumlah data penting yang harus diketahui oleh masyarakat agar dapat menjaga diri sebaik mungkin.
Pertama, kita menghadapi virus yang baru, dengan sifat yang berbeda dengan virus yang pernah ada, kecepatan mutasi yang cepat. Belum lama ini ditemukan lagi varian terbaru di Inggris N439K. Varian ini bahkan lebih cerdas dari varian sebelumnya karena ikatan terhadap reseptor ACE2 di sel manusia lebih kuat dan tidak dikenali oleh polyclonal antibody yang terbentuk dari orang yang pernah terinfeksi, dan saat ini sudah menyebar di lebih dari 30 negara (Thomson et al, 2021).
Transmisi aerosol tidak mesti batuk atau bersin, bernapas normal pun ternyata dapat menularkan.
Kedua, dari data yang didapati, penularan virus melalui aerosol sehingga yang paling sulit adalah mengendalikan orang-orang yang asimtomatis. WHO mengingatkan dunia bahwa penyebaran SARS-CoV-2 adalah transmisi airborne (melalui droplet udara) microdroplets (5µm). Transmisi aerosol tidak mesti batuk atau bersin, bernapas normal pun ternyata dapat menularkan.
Penyebaran dalam bentuk droplet (batuk, bersin, napas, dan berbicara) berukuran lebih dari lima mikron akan mengendap di lantai, sedangkan ukuran kurang dari 0,8 hingga 10 μmikron tetap ada di udara hingga 1-3 jam (virus bisa hidup).
Ukuran aerosol virus terbanyak (0,5 hingga 5 μmikron) adalah ukuran paling lazim terhirup napas (Zuo et al., 2020). Penularan dapat terjadi tanpa disadari karena satu dari tiga orang bisa bersifat asimptomatik/pre-simptomatik (tidak bergejala, tetapi mempunyai kemampuan menyebarkan virus sama dengan orang terinfeksi yang bergejala).
Pada seseorang yang terinfeksi, baik bergejala maupun tidak, secara tak disadari virus dapat menyebar dari napas yang diembuskannya. Dilaporkan, saat orang terinfeksi, ia akan menyebarkan virus hingga 1,03x105 dan 2,25x107 RNA SARS-CoV-2 virus per jam ke dalam ruangan (26,9 persen) (Ma et al, 2020).
Rata-rata penularan terjadi 35 persen dari droplet (terutama jarak dekat), 57 persen dari inhalasi (microdroplet), dan hanya 8,2 persen dari kontak (permukaan benda-benda yang menempel di tangan ke wajah) (Jones, 2020).
Ruangan tertutup bersirkulasi udara buruk berpotensi menjadi wadah penyebaran virus (Kumar dan Morawska, 2019). Orang terinfeksi akan melepaskan partikel virus ke ruangan dan jika konsentrasi virus dalam ruangan tinggi, orang sangat sehat pun bisa tertular.
Apalagi sistem ventilasi umumnya menggunakan AC sentral dan jika sirkulasi udara buruk serta kurang cahaya ultraviolet, virus SARS-CoV-2 dapat bertahan hidup hingga tiga jam dalam ruangan (Van Doremalen et al., 2020).
Faktor lain, seperti iklim, cuaca, suhu, kelembaban, dan sinar matahari, juga memengaruhi penyebarannya (Chen et al., 2020; Coccia et al, 2020).
Ruangan tertutup bersirkulasi udara buruk berpotensi menjadi wadah penyebaran virus (Kumar dan Morawska, 2019).
Ketiga, pemakaian masker yang sesuai (masker medis, N95, KN94, KF94) bisa melindungi hingga 90 persen mencegah penularan dan tertular. Penggunaan masker yang baik dan benar sangat penting meski ada risiko hingga 10 persen keluarnya droplet dan microdroplet dengan pemakaian masker yang benar sekalipun, tetapi ini sangat bermakna dalam menurunkan transmisi.
Penggunaan masker di tempat umum menjadi wajib, mengingat 5-80 persen orang yang dites positif SARS-CoV-2 mungkin tak menunjukkan gejala (Heneghan, et al, 2020).
Keempat, kebugaran dan tidak stres merupakan kunci utama, orang yang sehat dan bugar ketika terinfeksi sekalipun cenderung tidak bergejala (asimtomatik) atau gejala ringan dan orang yang memiliki penyakit, baik diketahui maupun tidak, berisiko mengalami badai sitokine yang membawa ke fase berat hingga kritis dengan progresivitas yang kadang sulit ditebak.
Menjaga kesehatan
Dari temuan di atas dapat kita simpulkan, 3M saja belum cukup. Harus dipastikan semua ruangan yang di dalamnya terdapat orang berkumpul berventilasi terbuka atau dipasangi pembersih udara yang dapat membunuh virus 99,9 persen.
Kemampuan pembentukan antibodi ternyata bersifat individual, maka selain vaksinasi Covid-19, ketaatan terhadap protokol kesehatan dan upaya menurunkan viral load sangat diperlukan untuk mengakhiri pandemi.
Tentu saja, hal penting lain yang harus terus dijaga adalah tubuh yang sehat dan tidak stres. Karena itu, masyarakat harus menjaga kesehatan sebaik mungkin. Mereka yang memiliki komorbid harus teratur berobat dan terkontrol. Upayakan screening komorbid agar dapat segera diobati jika ada masalah sehingga dapat lebih aman dan berisiko rendah ketika terinfeksi Covid-19.
Kedua, memastikan bahwa masker yang dipakai—baik dari pembelian daring ataupun di outlet-outlet—adalah masker yang bisa melindungi, yaitu dapat menutup semua celah ke hidung dan mulut, memiliki lapisan penyaring virus yang benar dan ada izin edar.
Ketiga, semua ruangan atau tempat umum, baik tempat usaha, perkantoran, sekolah, tempat ibadah, maupun lainnya harus membuka jendela. Ventilasi terbuka sangat penting untuk meminimalkan udara yang mengandung virus (menurunkan viral load), terutama dari embusan napas, berbicara, atau bahkan batuk/bersin yang keluar dari orang-orang tanpa gejala (asimptomatik) dan pre-simtomatik.
WHO menganjurkan untuk membuka jendela dalam ruangan yang tertutup. Jika di ruangan itu tidak bisa membuka jendela, udara dalam lingkungan tempat berkumpul tersebut secara konsisten dan terus-menerus harus dibersihkan udaranya dengan sterilisator ataupun pembersih udara (air purifier) yang dapat menyaring serta membunuh virus hingga 99,9 persen.
Sebaiknya para penyedia tempat umum bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan yang aman ketika orang-orang akan berkumpul. Untuk hal ini bagusnya ada regulasi sehingga dipatuhi oleh penyedia ruangan.
Selain itu, sebaiknya ada ketetapan untuk standar masker yang melindungi sehingga masyarakat tidak saling menyebarkan virus. Perlu kerja sama yang seirama antara masyarakat dan penentu kebijakan agar penderitaan akibat pandemi ini dapat segera terkendali dan semoga akan segera berakhir. Dan, untuk mencapai tahap tersebut, hidup dan roda perekonomian harus tetap berputar. Kedua faktor harus berimbang dan tidak saling dikorbankan.
Daeng M Faqih, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)