Wawancara Harry dan Meghan memicu krisis bagi keluarga Kerajaan Inggris. Mereka menghadapi ujian baru terkait relevansi monarki di tengah perkembangan zaman.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kontroversi serta polemik bagian tak terpisahkan dari monarki. Karena itu, kehebohan wawancara Pangeran Harry dan Meghan Markle tak terlalu mengejutkan.
Dalam wawancara Harry dan Meghan dengan pembawa acara televisi top Amerika Serikat, Oprah Winfrey, di CBS, pada 7 Maret lalu, Meghan menyebut ada sikap rasial terhadap bayinya yang ditunjukkan kerabat keluarga Kerajaan Inggris. Terungkap pula relasi Meghan dan Kate Middleton, istri Pangeran William, yang tak terlalu menggembirakan.
Tidak ada yang baru sama sekali dalam drama Kerajaan Inggris. Putri Diana, istri Pangeran Charles, dahulu mengalami ketegangan yang lebih kurang sama. Ada tekanan besar yang dirasakannya akibat ketidakcocokan dengan ritme dan kehidupan kerajaan. Tekanan tak hanya dari lingkungan kerajaan dan relasinya dengan Charles, tetapi juga dari media Inggris yang gencar memburu dirinya.
Mengapa bermunculan cerita dramatis semacam itu dari keluarga monarki Inggris? Jawaban pertanyaan ini bisa panjang. Namun, intinya, fenomena itu terjadi tak lepas dari sifat monarki yang konservatif dan harus menjadi penjaga tradisi.
Tidak banyak negara yang masih menganut monarki dengan variasinya yang ekstrem. Ada monarki absolut, seperti Arab Saudi; ada monarki yang konstitusional, seperti Inggris dan Spanyol. Namun, kesamaan di antara mereka, pemimpinnya, raja atau ratu, merupakan kepala negara yang tak dipilih rakyat. Mereka menjadi kepala negara (merangkap sebagai kepala pemerintahan, seperti di Saudi) karena keturunan.
Pembela monarki menyebut sistem kerajaan unggul ketimbang republik karena raja atau ratu dapat berdiri di atas semua kekuatan politik. Raja atau ratu mampu memberikan kestabilan. Anggapan bahwa monarki tak demokratis dibantah dengan sederetan peraturan dan undang-undang yang membatasi kekuasaannya. Anggaran monarki juga dikuliti sehingga tak bisa seenaknya memakai uang.
Monarki dinilai pula mampu menjadi simbol keberlanjutan riwayat sebuah negara. Dengan melihat sosok Ratu Elizabeth II, misalnya, siapa pun paham itulah simbolisasi dari Inggris yang tak berubah sejak berabad-abad silam.
Namun, ada harga yang harus dibayar. Sikap konservatif, hasrat menjaga kemurnian menjadi tak terhindarkan. Hanya dengan cara itu, sang simbol tetap bisa bertahan. Di titik inilah cerita dramatis bisa muncul. Ada individu-individu di dalam kerajaan yang tak kuat menahan beban ”konservatisme” itu.
Pihak monarki menyadari, keberadaannya kini tidak ditentukan ”kekuatan langit”, tetapi kekuatan rakyat. Monarki harus dapat menunjukkan relevansinya dengan kehidupan rakyat. Jika gagal, rakyat tak segan menghapus monarki.
Wawancara Harry dan Meghan memicu krisis bagi keluarga Kerajaan Inggris. Mereka menghadapi ujian baru terkait relevansi monarki di tengah perkembangan zaman. Suka tak suka, keluarga kerajaan harus menjawabnya. Mereka harus menunjukkan, keberadaan monarki masih relevan bagi rakyat.