Dalam seminggu terakhir ini kita disodori kenyataan tidak selamanya penyelenggara negara, birokrasi, berjalan seiring demi mewujudkan cita-cita NKRI. Tidak berada dalam satu perahu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Jabatan adalah amanah, kapan saja bisa diambil. Penyelenggara negara pun akan mengutamakan kepentingan negara, berbakti kepada rakyat, nusa, dan bangsa.
Nyaris siapa pun pemenang pemilu atau pilkada akan menyatakan, sebagai kepala daerah atau kepala negara, akan melayani dan melindungi seluruh rakyat, tak hanya partai politik atau warga yang memilihnya. Sebelum menjabat, mereka juga berjanji memenuhi kewajiban sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Pancasila, UUD 1945, serta menjalankan undang-undang dan peraturan dengan selurus-lurusnya.
Seseorang yang menduduki jabatan penyelenggara negara juga berjanji melaksanakan tugasnya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; menjaga martabat, bekerja dengan jujur, tertib, cermat, serta bersemangat bagi kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kepala negara, kepala daerah, dan penyelenggara negara lainnya, di pusat atau daerah, dalam semangat yang sama membentuk birokrasi untuk melayani rakyat. Birokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan pejabat/pegawai pemerintah yang berpegang pada jenjang jabatan. Namun, karena latar belakang jajaran birokrasi beragam, perbedaan penyelenggaraan pemerintahan pun bisa terjadi meskipun tujuannya seharusnya tetaplah sama.
Dalam seminggu terakhir ini kita disodori kenyataan tidak selamanya penyelenggara negara, birokrasi, berjalan seiring demi mewujudkan cita-cita NKRI. Tidak berada dalam satu perahu. Misalnya, dualisme dalam penentuan sekretaris daerah Provinsi Papua, hubungan kurang harmonis antara Wali Kota Tegal (Jawa Tengah) dan wakilnya, serta Gubernur Sulawesi Selatan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Kejadian itu sebenarnya bukanlah yang pertama dalam sejarah birokrasi dan politik pemerintahan di negeri ini.
Harold Laswell, ilmuwan politik asal Amerika Serikat, memaknai politik sebagai siapa mendapatkan apa dan bagaimana mendapatkannya. Prinsip, nilai, dan etika bukan variabel yang dipertimbangkan untuk meraih kekuasaan. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Henry John Temple Palmerston, pun mengingatkan, dalam politik tidak ada teman atau musuh yang abadi. Kepentinganlah yang abadi.
Bukan kepentingan negara yang tergambar saat Pemerintah Provinsi Papua, gubernur dan wakil gubernur, menawar sekretaris daerah yang dilantik Menteri Dalam Negeri. Padahal, ada aturan mengenai kewenangan memilih sekretaris daerah. Entah kepentingan siapa yang mewarnai saat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tegal berbeda sikap sehingga Gubernur Jateng terpaksa turun tangan. Perbedaan sikap, ”pecah kongsi”, antara kepala daerah dan wakil, sering terjadi di negeri ini. Pasti juga bukan kepentingan negara yang melatarbelakangi korupsi oleh penyelenggara negara.
Padahal, kepentingan penyelenggara negara, birokrasi, siapa pun dia, semestinya hanya satu, demi kesejahteraan rakyat dan mengutamakan kepentingan negara, kepentingan umum (rakyat). Bukan justru beradu mengedepankan kepentingan masing-masing, dan kepentingan rakyat terabaikan.