Sejarah Ringkas Tiga Kerajaan Kutai di Kaltim
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, pada tahun 1947, Kutai Kartanegara ing Martadipura bergabung dengan Republik Indonesia. Namanya disingkat menjadi Kutai Kartanegara.
Seorang kawan, suku Ma’anyan Paju Epat dari Sangatta, Kalimantan Timur, mengatakan bahwa menurut sejarah yang diperolehnya di sekolah, Kutai Kartanegara berasal dari Kerajaan Kutai Kuna yang dibangun oleh seorang petinggi Dayak, Kudungga, di Muara Kaman.
Pernyataan ini menarik karena salah satu pernyataan pasti salah, Kutai Kartanegara tidak berasal dari Kutai Kuna. Sementara yang kedua, Kerajaan Kutai Kuna dibangun oleh petinggi Dayak, Kudungga, adalah tidak sesuai dengan teori antropologi. Mari kita bincangkan kedua hal ini karena sebagian dari wilayah Kutai Kartanegara itu akan menjadi calon ibu kota baru NKRI.
Nama Kutai Kuna digunakan oleh arkeolog UI, Prof Aris Munandar, dalam buku Kaladesa (2017) untuk menyebut kerajaan Hindu kuna yang terletak di Muara Kaman. Di pihak lain, Pastor Mikhail Coomans dalam buku Manusia Daya (1987) menyebutnya Kutai Mulawarman. Sementara pihak kerajaan Kutai sendiri, plus prasasti yupa yang dibuatnya, tidak menyebut nama ataupun tahun lahir kerajaan.
Sebutan Kutai untuk nama kerajaan tersebut berasal dari orang luar, mungkin berasal dari kata kho thay yang berarti kota besar dalam bahasa China atau kata quetaire yang berarti hutan lebat dalam bahasa India tertentu. Di sini kita menyebutnya Kutai Kuna, ikut sebutan Prof Munandar, untuk keperluan praktis saja.
Kutai Kuna diduga berdiri sekitar abad ke-4 Masehi.
Kutai Kuna diduga berdiri sekitar abad ke-4 Masehi. Hampir sezaman dengan Kerajaan Tarumanagara di pantai utara Jawa Barat dan Kerajaan Melayu di Jambi. Pada masa itu, semua kelompok pribumi Austronesia di Nusantara, termasuk Dayak, masih hidup dalam peringkat budaya terbelakang, yaitu budaya barbarian menurut Morgan dalam Ancient Society (1877).
Mereka belum punya ilmu dan juga sistem produksi untuk medukung organisasi politik kerajaan. Sistem politik paling tinggi yang mereka capai paling banter sistem perbatinan atau sistem ketumenggungan, seperti yang dipraktikkan oleh orang Rimba di Jambi dan orang Sakai di Riau. Jadi, kesimpulannya, tidak ada kerajaan Dayak dengan raja yang bernama Kudungga.
Kerajaan Kutai Kuna sangat mungkin didirikan oleh rombongan bangsawan India yang sedang mencari emas ke hulu sungai-sungai Kalimantan. Pada masa itu, suplai emas untuk kerajaan-kerajaan di India dari daerah-daerah utara berkurang.
Di pertengahan Sungai Belayan, dekat Muara Kaman (Kaltim), kepala rombongan bangsawan India yang bernama Aswawarman bertemu dengan penduduk Dayak setempat yang dipimpin oleh petinggi/kepala suku, Kudungga.
Dengan segala kemegahan, kekuatan, dan kecerdikannya, Aswawarman mengaku sebagai Dewa Matahari (Sang Ansuman) dan mengawini anak perempuan Kudungga. Dengan perkawinan ini, dia menyatakan diri sebagai pendiri dinasti (Wamçakartta) kerajaan. Kudungga beserta anak buahnya tunduk mengabdi kepada Aswawarman.
Keturunannya dididik untuk mengembangkan Kerajaan Kutai Kuna. Dalam salah satu prasasti yupa yang ditemukan oleh arkeolog Belanda tahun 1879, sang pendiri dinasti menulis nama Kudungga sebagai sang maharaja dan mengakui dirinya sebagai putra Kudungga. Ini adalah satu diplomasi politik yang cerdik dan menyejukkan hati dari sang Aswawarman untuk menghormati sang mertua.
Hanya sampai di situ nama Kudungga dalam sejarah Kerajaan Kutai Kuna. Raja yang paling terkenal dari Kerajaan Kutai Kuna adalah Mulawarman, sang mix-blood India-Dayak.
Sebagai perbandingan, kasus yang hampir sama, dalam masa yang hampir sama dengan Kutai Kuna, terjadi di tepi Sungai Melayu di Palembang. Menurut naskah Sulalatus Salatin, salah seorang dari tiga bersaudara rombongan bangsawan India pencari emas (Nila Pahlawan, Krisyna Pandita, dan Nila Utama) mengawini anak perempuan kepala suku orang Rimba, Demang Lebar Daun.
Sekitar seribu tahun setelah itu (1365 Masehi), naskah Nagara Kretagama Pupuh 14 menyebut satu unit politik yang bernama Tunjung Kutai.
Keturunan mereka mendirikan dan mengembangkan kerajaan Hindu-Buddha Melayu. Saya kurang percaya pada Sulalatus Salatin kalau mengatakan kejadian ini berlaku di Palembang. Yang lebih benar mungkin di tepi Sungai Melayu di Jambi karena Kerajaan Melayu Jambi jauh lebih tua daripada Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Bahkan, seorang arkeolog Perancis menduga Sriwijaya itu adalah Melayu.
Sekitar seribu tahun setelah itu (1365 Masehi), naskah Nagara Kretagama Pupuh-14 menyebut satu unit politik yang bernama Tunjung Kutai. Nama Tunjung Kutai dikelompokkan dengan nama-nama unit politik lain yang terletak di Pulau Kalimantan, yang berada di bawah pengaruh Majapahit.
Melalui pembacaan terhadap naskah Salasilah Kutai, unit politik itu dapat disimpulkan sama dengan Kepatihan Kutai yang berpusat di Dusun Jahitan Layar di muara Sungai Mahakam-Belayan.
Kepatihan itu dibangun oleh seorang petinggi Dayak Tunjung sekitar tahun 1300. Mungkin, karena itu Majapahit menyebutnya Tunjung Kutai. Sekitar tahun 1365, Kepatihan Tunjung Kutai menguasai 12 dusun sekitar Jahitan Layar dan punya hubungan dagang dengan Majapahit.
Komoditas perdagangannya adalah emas dan hasil hutan. Patih Tunjung Kutai setiap tahun sowan dan membawa upeti ke Majapahit di Jawa Timur. Di Majapahit, patih itu diajar tata krama dan sistem politik Majapahit oleh Mahapatih Gajah Mada.
Seiring dengan perjalanan waktu, Kepatihan Tunjung Kutai makin berkembang dan kaya. Membangun hubungan diplomatik dan dagang dengan sejumlah negara: Bugis, Pasir, Sulu, China, Banjar, dan Jawa. Kini, mereka boleh mendabik dada sebagai sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja.
Pada tahun 1575, setelah Majapahit jatuh, dan kerajaan Islam Demak bangun, Raja Kutai Tunjung menerima Islam sebagai agama negara atas dakwah dua ulama dari Minangkabau.
Merasa diri makin besar dan kuat, pada tahun 1625 di bawah pimpinan Pangeran Sinum Panji Mendapa, Tunjung Kutai melancarkan serangan atas Kerajaan Kutai Kuna di pedalaman Sungai Belayan. Meski mendapat perlawanan sengit, serangan ini telah menghancurkan dan melupuskan Kerajaan Kutai Kuna.
Semua keturunan bangsawannya tewas. Para pendeta brahmana menyelamatkan arca, pusaka, dan perhiasan berharga kerajaan ke sebuah goa di Gunung Kombeng di Muara Wahau. Sementara yupa-yupa yang berat dan tidak berharga ditinggal di sekitar Desa Muara Kaman.
Martapura adalah nama Kerajaan Kutai Kuna menurut pihak Tunjung Kutai.
Setelah penaklukan Kutai Kuna, Raja Tunjung Kutai mengubah gelarnya menjadi Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura. Martapura adalah nama Kerajaan Kutai Kuna menurut pihak Tunjung Kutai.
Tambahan nama Martapura di belakang gelar raja itu memberi kebanggaan bagi raja sebagai penakluk Kerajaan Martapura (Kutai Kuna). Setelah itu, di Sungai Belayan, dari hulu sampai ke muara, hanya ada satu kerajaan Kutai, yaitu Kutai ing Martapura.
Sekitar tahun 1700, pusat kerajaan dipindah dari Jahitan Layar ke tempat lebih pedalaman, yaitu ke Dusun Pemarangan, untuk menghindarkan diri dari gangguan perompak lanun dari Sulu. Dusun Jahitan Layar berubah nama menjadi Kutai Lama sampai kini.
Seterusnya, setelah mengalami perpecahan dari dalam dan gangguan serius perompak lanun Sulu, pusat Kerajaan Kutai dipindahkan lagi dari Pemarangan ke wilayah huma orang Kedang Lampang, yaitu ke Tangga Arung (sekarang jadi Tenggarong).
Pertanyaan yang masih tersisa adalah sejak kapan Kerajaan Kutai ing Martapura itu berubah nama menjadi Kutai Kartanegara? Kemungkinan besar terjadi pada zaman masuknya pengaruh kolonial Belanda pada tahun 1825 dan 1844.
Karena, Belanda masuk Kutai melalui perjanjian secara tertulis dengan Raja Kutai. Untuk itu, diperlukan nama raja dan nama kerajaan ditulis secara jelas dalam surat perjanjian. Dalam perjanjian itu, menurut Salasilah Kutai, nama kerajaan ditulis menjadi Kutai Kartanegara ing Martadipura dan nama raja yang membuat perjanjian adalah Sultan Muhammad Salehuddin.
Bagi yang memerlukan bukti tentang dugaan ini, bisa mencarinya dalam dokumen-dokumen kolonial di negeri Belanda.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, pada tahun 1947, Kutai Kartanegara ing Martadipura bergabung dengan Republik Indonesia, namanya disingkat menjadi Kutai Kartanegara. Pada tahun 1953, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3, Kutai Kartanegara dijadikan daerah istimewa.
Pada tahun 1959, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda dikeluarkan dari Daerah Istimewa Kutai Kartanegara. Tahun 1960, Kutai Kartanegara menjadi kabupaten daerah tingkat II. Terakhir, tahun 1999, berdasarkan Undang-Undang Nomor 47, daerah tingkat II Kutai Kartanegara dipecah menjadi empat daerah otonom, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang.
Demikianlah sejarah ringkas tiga kerajaan Kutai di Kalimantan Timur?
(Amri Marzali, Peneliti Senior LPPSP-FISIP Universitas Indonesia)