Kebijakan kampus yang menghargai kelompok minoritas berkorelasi positif terhadap sikap dan perilaku toleransi mahasiswa.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyebutkan bahwa 69,83 persen mahasiswa memiliki toleransi beragama yang tinggi.
Bahkan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah mendapati 20 persen di antara mahasiswa yang disurvei memiliki toleransi beragama yang amat tinggi. Toleransi rendah (24,89 persen) dan sangat rendah sebanyak 5,27 persen.
Penelitian itu mencakup kampus perguruan tinggi negeri, swasta, perguruan tinggi agama di bawah Kementerian Agama dan yang dimiliki swasta, serta perguruan tinggi kedinasan. Survei itu cukup mewakili kalangan luas perguruan tinggi sehingga hasilnya bisa dikatakan cukup representatif dan bisa dijadikan sebagai panduan (Kompas.id, 2/3/2021).
Kita memberikan perhatian khusus terhadap isu ini karena ada kepentingan besar kepada mahasiswa, yang diharapkan tidak saja menjadi kader kepemimpinan, tetapi sekaligus juga sebagai agen perubahan. Indonesia di masa depan dipenuhi berbagai tantangan, antara lain hadirnya Revolusi Industri 4.0, pandemi virus, dan perubahan iklim. Semua memerlukan rasa kebangsaan yang solid, persatuan, bersama menghadapi tantangan.
Di sisi lain, ada fakta sebagai bangsa, tatanan kebangsaan kita diwarnai kemajemukan, yang meniscayakan ada kesadaran khusus. Paling tidak, rasa persatuan dan kebangsaan kita tak henti-hentinya dalam proses menjadi (in the making). Inilah realitas yang harus disadari para elite, pemimpin, pada masa sekarang dan masa depan.
Jika di atas disebutkan, mayoritas mahasiswa kita toleran terhadap perbedaan dan bisa saling menghargai, tentu ini bisa menjadi modal bernilai untuk menyongsong masa depan. Pada sisi lain, kita menyadari, proses membangun kebangsaan dan toleransi tidak bersifat statis dan akan beres begitu saja (taken for granted), tetapi harus terus-menerus diberi perhatian.
Dalam survei, ada uraian yang membesarkan hati: kebijakan kampus yang menghargai kelompok minoritas berkorelasi positif terhadap sikap dan perilaku toleransi mahasiswa. Semakin tinggi tingkat toleransi beragama dosen dan penerimaan atau penghormatan kampus terhadap kelompok minoritas, makin tinggi pula toleransi beragama mahasiswa.
Penelitian itu masih perlu terus disempurnakan, tetapi hasil yang sejauh ini diperoleh kiranya bisa menjadi pijakan awal. Pemimpin kampus bisa terus mengembangkan program penguatan toleransi dan meredam tren intoleransi.
Terjadinya pandemi Covid-19 juga bisa menjadi topik pembelajaran, di mana dimensi rasionalitas tampil mengedepan, ditandai antara lain oleh riset tentang karakter virus dan penyebarannya, ataupun riset tentang vaksin dan pengobatan Covid-19. Dalam konteks ini, kekhusyukan iman kiranya akan lebih bermakna jika diperkuat keunggulan nalar.
Satu lagi yang juga bisa ditambahkan adalah perlunya pemahaman mahasiswa yang terus-menerus ditingkatkan dalam soal hak asasi manusia, yang norma dasarnya meniscayakan kesetaraan dan berujung pada toleransi. Mari terus kita pupuk karakter mulia di kalangan calon pemimpin masa depan.