Untuk menyelesaikan permasalahan, jangan melalui kekerasan. Apalagi yang terlibat kontak senjata saudara sebangsa. Namun, selesaikanlah tetap dengan ketegasan bahwa NKRI harga mati.
Oleh
Suharno
·4 menit baca
Saya salut kepada Kompas, yang pada Jumat (26/2/2021) di halaman opini memuat dua tulisan berbeda, tetapi konteksnya sama. Di halaman yang sama pula. Dengan demikian, pembaca dapat membandingkan dan menangkap dengan cepat permasalahannya.
Permasalahan Irian Barat, Irian Jaya, atau yang sekarang disebut Papua memang sudah lama. Sudah berlangsung sekitar setengah abad dan telah menghabiskan dana serta daya yang tidak sedikit.
Apa yang ditulis Hipolitus Wangge ataupun Guntur Soekarno bisa dipahami. Sesuai dengan kepentingan masing-masing. Namun, bagi kita, terutama yang mengikuti peristiwa sejak awal, ingin permasalahan cepat selesai. Agar tidak terus menambah banyak korban, daya, dan dana sehingga bisa fokus pada pembangunan wilayah.
Jika kita berpijak pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kembali pada nama Irian Jaya atau Irian (saja) akan lebih pas. Di samping untuk menghormati para pejuang yang telah merebut dari Belanda hingga kemudian diakui PBB, diharapkan nama itu dapat menghapus ingatan pada permasalahan. Terutama untuk generasi muda atau penduduk negara lain yang tidak tahu situasi. Apalagi dengan otonomi daerah, yang sekarang mayoritas bisa dipegang putra-putri Irian Jaya, semoga dikotomi permasalahan bisa segera hilang.
Untuk menyelesaikan permasalahan, jangan melalui kekerasan. Apalagi yang terlibat kontak senjata saudara sebangsa. Namun, tetap dengan ketegasan bahwa NKRI harga mati. Untuk itu, unsur hankamnas dan diplomasi perlu diperkuat. Di dalam negeri oleh Kemendagri, Polri, dan Kemenhan, sedangkan di luar negeri oleh Kemlu.
Mereka harus bekerja keras menyelesaikan, kalau perlu dengan target dan kredit poin bagi pelaksananya.
Suharno
Warungboto UH 4/936 RT 33 RW 08 Yogyakarta
Tanggapan IMB
Sehubungan dengan dimuatnya surat pembaca di harian Kompas (24/2/2021) dengan judul ”Sulit Mengurus IMB” dari Sdr Titis Nurdiana di Vila Bintaro Regency, Tangerang Selatan, perkenankan kami Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Tangerang Selatan memberikan penjelasan di bawah ini.
Pertama, kami sampaikan terima kasih atas surat yang disampaikan terkait dengan pelayanan DPMPTSP. Perihal keluhan Sdr Titis Nurdiana, kami telah menghubungi yang bersangkutan untuk klarifikasi.
Intinya, yang bersangkutan mengharapkan ada penyederhanaan persyaratan perizinan izin mendirikan bangunan (IMB), khususnya terkait dengan persyaratan rencana tapak (siteplan). Saudara Titis tidak memiliki/menyimpan dokumen siteplan.
Siteplan merupakan tata letak penempatan bangunan dan sarana pendukungnya pada suatu lokasi persil untuk memenuhi persyaratan teknis peruntukan.
DPMPTSP telah menjelaskan dan memberikan solusi terkait dengan persyaratan siteplan untuk mengurus IMB. Dalam hal ini, permasalahan sudah terselesaikan dengan baik.
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.
M Hari Kurniawan, SH
Kasi Regulasi, Pengaduan, dan Advokasi
Informasi Debitor
Pada 21 Agustus 2019, saya ke kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jakarta. Saya mengajukan permohonan informasi debitor pada sistem layanan informasi keuangan yang jadi kewenangan OJK.
Saya membutuhkan keterangan tersebut guna mengajukan pinjaman ke bank, tetapi hasilnya mengagetkan.
Informasi yang keluar malah atas nama dua orang lain. Satu berinisial MA, satu lagi namanya persis dengan nama saya di KTP, Johannes L Simatupang. Kesamaan kami bertiga hanyalah tanggal lahir, sama-sama 9 Oktober 1975.
Tanggal 11 Februari 2021, saya datang kembali ke kantor OJK. Ditemui oleh Ibu Irma. Ia mengatakan, memang datanya keliru. Sumber data adalah server data yang dikelola Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Mohon perhatian pihak terkait agar saya sebagai pelaku usaha tidak terhambat mendapatkan hak untuk mengajukan pinjaman ke bank.
Johannes L Simatupang
Jl Kayu Mas Selatan I, Pulo Gadung, Jakarta Timur
Pelayanan Telkom
Pukul 04.00 saya telepon Telkom karena kabel telepon terlihat putus. Dijanjikan petugas datang pukul 08.00.
Karena belum datang, pukul 09.30 saya telepon lagi. Dijawab sudah diperbaiki dan dicek sudah terhubung. Saya bingung dihubungkan dengan telepon siapa? Karena kabelnya masih putus.
Perlu waktu 35 jam baru telepon saya diperbaiki. Katanya digigit tikus, padahal lokasi di Jakarta.
Saya memerlukan banyak telepon untuk telehipnoterapi pasien Covid-19 dan webinar kuliah anak saya.
Seminggu kemudian putus lagi tengah hari. Empat jam kemudian diperbaiki. Dari luar kabel terlihat utuh, putus di dalam dan baru diketahui dengan sinar laser. Apa memang kabel optik fiber mudah putus?
Dr Gho Petrus Andrianto
Jl dr Semeru, Jakarta
Kenapa WFH?
Pada masa pandemi malah kita menambah penggunaan istilah Inggris, padahal bisa dicari padanan Indonesia-nya.
Ramai dibicarakan work from home (WFH), sementara kita dapat menyebutnya kerja dari rumah (KDR).
Kita pun tidak konsisten menyebut singkatan bahasa Inggris itu dengan ejaan bahasa Indonesia. Lucu bukan.