Dengan situasi yang berubah itu, tak keliru kiranya jika AS mau mengubah penekanan dalam menjalin hubungan dengan Saudi, terutama terkait penegakan hak asasi dan demokrasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Arab Saudi menjadi sekutu penting Amerika Serikat di Timur Tengah. Kasus pembunuhan Jamal Khashoggi memperlihatkan keistimewaan relasi kedua negara.
Jamal Khashoggi merupakan wartawan dan penulis kolom di The Washington Post. Ia tak segan mengkritik otoritas Arab Saudi. Namun, duka dirasakan kelompok prodemokrasi dan tentunya tunangan Khashoggi, Hatice Cengiz, setelah wartawan asal Saudi itu tewas dalam insiden pembunuhan di Konsulat Saudi di Istanbul, Turki, Oktober 2018.
Ada dua problem besar dalam kasus ini sehingga seharusnya mendapat respons ”keras” dari Washington. Pertama, kasus itu merupakan pembunuhan terhadap wartawan. Di mana pun, pembunuhan jurnalis yang dipicu niat untuk mengakhiri kritik bertentangan dengan prinsip dan sendi demokrasi, yakni kebebasan berpendapat.
Kedua, pembunuhan dilakukan agen-agen pemerintah secara terencana serta dilaporkan mendapat persetujuan tokoh penting pemerintahan. Dengan demikian, ada praktik sewenang-wenang oleh aparat negara terhadap warga sipil.
Dua hal itu jelas melanggar prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan masa penerapan lebih dari 200 tahun, AS seharusnya memberi respons keras terhadap insiden yang menimpa Khashoggi. Kenyataannya, di era Presiden Donald Trump, tak ada respons berarti dari Washington. Kemudian, di era Presiden Joe Biden, AS juga memilih untuk tidak menunjukkan sikap yang tak terlalu tegas, selain memaparkan temuan-temuan yang sudah lama diketahui publik terkait pembunuhan Khashoggi.
Dalam paparan oleh Kementerian Luar Negeri AS pada Senin (1/3/2021), juru bicara Ned Price menyatakan Washington telah mendesak Saudi untuk membubarkan kelompok yang terlibat pembunuhan Khashoggi. Selain itu, Riyadh didesak menjalankan reformasi kelembagaan guna memastikan operasi antipengkritik dihentikan.
Demikian hal paling keras yang dilakukan pemerintahan Biden, yang sebelum ini diperkirakan bersikap lebih tegas dalam isu hak asasi.
AS memang memilih untuk berhati-hati terhadap Saudi, sekutu eratnya di Timur Tengah. Selain peran Saudi yang krusial dalam membantu AS mengatasi isu keamanan dan geopolitik di kawasan tersebut, Riyadh merupakan pembeli besar produk industri pertahanan AS.
AS mulai menempatkan Saudi sebagai sekutu yang kian penting sejak era 1970-an ketika sebagian besar minyak AS berasal dari Timur Tengah. Kini, saat porsi minyak negara Teluk tinggal 13 persen bagi keperluan AS, hampir tak ada yang berubah dalam pendekatan Washington terhadap Saudi.
Dengan situasi yang berubah itu, tak keliru kiranya jika AS mau mengubah penekanan dalam menjalin hubungan dengan Saudi, terutama terkait penegakan hak asasi dan demokrasi, serta penciptaan perdamaian di kawasan.