Perlombaan Mutasi dan Vaksinasi Covid-19
Mutasi virus yang berpacu dengan vaksin menjadi kekhawatiran bersama. Mau tak mau untuk menghadapi hal ini, vaksinasi harus dipercepat dan pengendalian penularan agar dilakukan lebih serius.
Semakin banyak bukti bahwa sebagian varian baru SARS-CoV-2 bisa menurunkan efektivitas vaksin. Perkembangan ini memicu pada kebutuhan untuk terus memodifikasi vaksin seiring dengan semakin beragamnya mutasi virus.
Tahun 2021 ditandai dengan sejumlah besar vaksin Covid-19 yang disetujui di seluruh dunia. Di Eropa, kandidat dari AstraZeneca-University of Oxford, Moderna, dan BioNTech-Pfizer telah diluncurkan. Vaksin BioNTech-Pfizer khususnya menunjukkan tanda-tanda berhasil mengurangi kasus Covid-19 di Israel, yang memiliki cakupan vaksinasi paling maju di dunia.
Hampir 90 persen orang berusia 60 tahun ke atas di Israel telah menerima dosis pertama vaksin BioNTech-Pfizer. Hasilnya, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Israel, terjadi penurunan 41 persen infeksi Covid-19 yang dikonfirmasi pada kelompok usia itu dan penurunan 31 persen rawat inap dari pertengahan Januari hingga awal Februari 2021.
Namun, kecepatan pemberian vaksinasi kini berhadapan dengan laju mutasi. Dua mutasi di antaranya, yaitu varian B.1.1.7 dari Inggris terbukti memiliki kemampuan menular lebih cepat, selain meningkatkan keparahan. Sementara itu, varian P.1 dari Brasil terbukti bisa memicu reinfeksi sehingga menyebabkan gelombang kedua yang lebih parah di kota Manaus.
Baca juga: Mutasi Baru SARS-CoV-2 yang Bisa Menyiasati Vaksin
Sementara varian B.1.351 atau dikenal juga sebagai 501Y.V2, yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan, semakin terbukti mampu menurunkan kemanjuran vaksin. Pada Kamis (18/2/2021), produsen vaksin Pfizer-BioNTech telah merilis pernyataan bahwa varian dari Afrika Selatan ini dapat mengurangi antibodi pelindung yang ditimbulkan oleh vaksin buatan hingga dua pertiga sehingga tidak jelas apakah akan efektif.
Pernyataan ini menyusul studi laboratorium yang dilakukan Pei-Yong Shi dari University of Texas Medical Branch (UTMB) di Galveston dan rekan-rekannya, yang kemudian dipublikasikan di jurnal The New England Journal of Medicine (NEJM) pada 17 Februari 2021.
Shi dan para peneliti ini melakukan uji coba virus yang telah dimodifikasi sehingga mengandung protein paku khas SARS-CoV-2, salah satunya menyerupai varian B.1.351. Tim ini kemudian memberikan serum darah dari orang-orang yang telah menerima dua dosis vaksin yang dibuat Pfizer-BioNTech ke virus hasil modifikasi ini. Ternyata, antibodi yang ditimbulkan vaksin hanya mampu menetralkan sepertiga varian mutasi ini.
Karena belum ada patokan yang pasti untuk menentukan tingkat antibodi yang diperlukan untuk melindungi kita dari virus, tidak jelas apakah pengurangan dua pertiga itu akan membuat vaksin menjadi tidak efektif terhadap varian baru yang telah menyebar luas ini. Masih dibutuhkan kajian lebih lanjut di luar eksperimen laboratorium.
Moderna juga mengirim korespondensi ke NEJM dengan data serupa yang menunjukkan penurunan tingkat antibodi enam kali lipat dibandingkan varian Afrika Selatan. Namun, Moderna juga mengatakan efektivitas vaksinnya terhadap varian Afrika Selatan masih belum bisa ditentukan.
Jika melihat hasil uji klinis sementara Sinovac di Bandung yang pas-pasaan, yaitu hanya 65,3 persen, kita patut khawatir dengan efektifitasnya membendung varian baru dari Afrika Selatan.
Sebelumnya, dua vaksin Covid-19 dari Johnson & Johnson (J&J) dan Novavax juga menunjukkan efikasi yang baik dan menghentikan infeksi di tempat-tempat di mana varian yang lebih menular beredar. Namun, ada satu pengecualian utama: masing-masing kehilangan sejumlah besar kekuatan pelindungnya saat digunakan di tempat peredaran varian baru Afrika Selatan.
Untuk vaksin satu dosis J&J, tingkat kemanjuran turun dari 72 persen dalam uji coba di Amerika Serikat, tetapi menjadi 57 persen dalam uji coba yang dilakukan di Afrika Selatan. Sementara vaksin Novavax, menurut Elisabeth Mahase dalam tulisannya di British Medical Journal (BMJ) pada 1 Februari 2021, sebanyak 95,6 persen efektif terhadap varian asli SARS-CoV-2, memberikan perlindungan terhadap varian Inggris B.1.1.7 sebesar 85,6 persen, tetapi terhadap B.1.351 hanya 60 persen.
Sejauh ini, belum ada kajian mengenai penurunan efikasi vaksin Sinovac yang dipakai di Indonesia terhadap varian-varian baru ini. Namun, jika melihat hasil uji klinis sementara Sinovac di Bandung yang pas-pasaan, yaitu hanya 65,3 persen, kita patut khawatir dengan efektifitasnya membendung varian baru dari Afrika Selatan.
Modifikasi
Hingga saat ini, vaksin yang ada masih menjadi opsi terakhir untuk melindungi orang dari terjangkit Covid-19 yang lebih parah. Namun, cepat atau lambat, perlindungan yang ditimbulkan oleh vaksin-vaksin ini diperkirakan tidak akan bertahan terhadap B.1.351 atau varian-varian lain yang terus bermunculan.
Dilatari kekhawatiran ini, para pembuat vaksin kini menyiapkan suntikan penguat (booster) yang secara khusus menargetkan B.1.351 dan regulator sedang mempertimbangkan suntikan yang diperbarui dapat disahkan tanpa perlu melalui keseluruhan uji klinis.
Pernyataan resmi Pfizer-BioNTech, di lamannya menyebutkan, ”Tidak ada bukti klinis hingga saat ini bahwa vaksin mereka tidak bekerja dengan baik terhadap B.1.351.”
Namun, Pfizer-BioNTech siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan, seperti melakukan investasi untuk mengembangkan dan mencari otorisasi untuk vaksin atau booster mRNA yang diperbarui setelah terbukti ada strain yang secara signifikan mengurangi perlindungan dari vaksin.
Baca juga: Mutasi Terbaru SARS-CoV-2 Picu Kekhawatiran
Baik vaksin Moderna dan Pfizer-BioNTech telah menyelesaikan uji klinis sebelum munculnya B.1.351 dan varian lain yang saat ini menjadi perhatian global. Jadi, tidak ada data klinis tentang apakah vaksin mereka bertahan terhadap iterasi virus yang lebih baru.
Namun, dalam uji coba mereka, kedua vaksin ini terbukti memiliki efikasi lebih besar dari 90 persen dalam mencegah gejala Covid-19 dengan varian awal SARS-CoV-2. Jadi, beberapa ahli berpendapat bahwa meskipun kedua vaksin ini kekurangan daya terhadap varian tertentu, mereka memiliki bantalan yang cukup untuk tetap sangat protektif.
Namun, penurunan efektivitas dalam uji coba Novavax dan J&J terhadap varian baru tersebut telah membuat beberapa ahli percaya bahwa vaksin Moderna dan Pfizer-BioNTech akan menunjukkan penurunan yang sama jika diuji terhadap B.1.351 dalam pengaturan klinis.
Awal bulan ini, Afrika Selatan juga menghentikan peluncuran vaksin AstraZeneca setelah analisis menunjukkan bahwa vaksin itu hanya ”memberikan perlindungan minimal” terhadap Covid-19 ringan meskipun data tersebut didasarkan pada sejumlah kecil pasien dan peneliti masih menyelidiki lebih lanjut soal ini.
Sarah Gilbert, Ketua Peneliti Vaksin AstraZeneca-Oxford, mengatakan, versi modifikasi dari vaksin mereka yang dirancang untuk melawan varian Afrika Selatan kemungkinan akan siap digunakan pada musim gugur tahun ini atau sekitar September 2021.
Bagaimana dengan vaksin seperti Sinovac? Bulan lalu, CEO Bioteknologi Sinovac Yin Weidong mengatakan kepada kantor berita China, Xinhua, bahwa vaksinnya yang dibuat dari virus yang tidak aktif, memiliki spektrum perlindungan yang lebih luas terhadap berbagai mutasi virus korona. Namun, klaim ini belum didukung data ilmiah yang bisa ditinjau para ahli.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, mengatakan, saat ini semakin banyak mutasi adaptif dari SARS-CoV-2. Mutasi adaptif ini memungkinkan virus untuk menyiasati terapi dan vaksin yang diberikan mengikuti hukum survival of fittest.
”Kuncinya sekarang mana yang lebih cepat, program vaksinasi dan pengendalian kasusnya atau peluang virusnya untuk beradaptasi,” kata Riza.
Jadi, selain mempercepat program vaksinasinya, pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan saat ini adalah mengenedalikan kasus penularan. Hal itu karena semakin tinggi kasusnya, makin tinggi peluang mutasinya.