Reaksi Melawan
Manusia sangat menghargai kebebasan, ketika kita melihat bahwa seseorang atau sesuatu yang eksternal mencoba memengaruhi kita untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan kita, reaksi ingin melawan muncul.
Banyak dari kita bila disuruh atau diperintah melakukan sesuatu malah kesal dan justru tak ingin menjalaninya. Gejala ini dalam ilmu psikologi dikenali sebagai psychological reactance atau reaksi melawan. Apakah hal itu dan bagaimana menyikapinya?
Berikut ini beberapa contoh situasi yang menggambarkan hal ini:
Makin remaja dilarang merokok oleh orangtua atau guru, mereka cenderung melawan dan diam-diam tetap melakukannya.
Orangtua melarang anaknya menghadiri pesta teman di akhir pekan, justru membuat sang anak makin lebih ingin pergi ke pesta tersebut dibandingkan sebelum orangtua melarangnya.
Para pedagang asongan digerebek untuk tidak berjualan lagi di kaki lima. Biasanya bubar sementara, esoknya mereka akan kembali lagi berdagang di situ.
Kepatuhan dalam menjalani prosedur kesehatan selama masa pandemi saat ini, acap kali diawali oleh reaksi melawan.
Teori Psychological Reactance pertama kali dikemukakan oleh Jack Brehm, seorang psikolog sosial pada tahun 1966. Teori ini masih dianggap sebagai salah satu teori psikologi dasar yang tetap bertahan sampai sekarang dan dapat diterapkan pada banyak aspek perilaku manusia.
Brehm menjelaskan, konsep ini mengacu pada gagasan bahwa ketika kebebasan individu ”dikurangi atau terancam berkurang”, orang cenderung terstimulasi motivasinya untuk mendapatkan kembali kebebasan tersebut. Artinya, ketika Anda memberi tahu saya apa yang harus saya lakukan, sebagian dari diri saya merasa harus melakukan yang sebaliknya.
Brehm & Brehm (1981) menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia sangat menghargai kebebasan, ketika kita melihat bahwa seseorang atau sesuatu yang eksternal mencoba memengaruhi kita untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan kita, reaksi ingin melawan muncul.
Reaksi ini memotivasi kita untuk melindungi keyakinan dan pandangan kita sendiri, dan terkadang melakukan kebalikan dari apa yang diminta untuk kita lakukan. Kita akan bertindak untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali pilihan yang hilang.
Orang sangat suka memiliki opsi sehingga akan mengeluarkan biaya bagi dirinya sendiri hanya untuk mempertahankan opsinya, meskipun opsi tersebut sebenarnya tidak terlalu penting atau menguntungkan.
Peran budaya
Cristel Antonia Russell (peneliti terkemuka di Pepperdine Graziadio Business School, 2021), menemukan bahwa ketidaksukaan seseorang ketika diberi tahu tentang apa yang harus dilakukan, bervariasi menurut budaya. Misalnya, semangat kemerdekaan Amerika yang terkenal menandai kecenderungan budaya untuk melindungi kebebasan seseorang, di samping dorongan kuat untuk menjadi otonom.
Sebaliknya, dalam budaya lebih kolektivis yang cenderung lebih menghargai kelompok daripada individu, orang cenderung mengikuti aturan tanpa mempertanyakan motif mereka. Misalnya, pemakaian masker semasa pandemi tampaknya jauh lebih diterima dalam budaya kolektivis seperti India, di mana orang cenderung mematuhi pemakaian masker yang diamanatkan pemerintah, yang mengakibatkan penurunan kontaminasi signifikan.
Perbedaan budaya ini terlihat pula dalam cara orangtua mendidik anak-anaknya. Orangtua dalam budaya kolektivis lebih cenderung mengajari anak mereka nilai kepatuhan dan rasa hormat terhadap otoritas. Adapun orangtua dalam budaya yang lebih individualistis, seperti AS, mendorong anak mereka untuk tumbuh lebih mandiri, dan berpikir serta bertindak untuk diri mereka sendiri (Park dan Lau 2016).
Namun, terlepas dari kecenderungan alam atau budaya kita, Russell mengatakan, terkadang mengikuti perintah adalah demi kepentingan terbaik kita. Kita harus memakai sabuk pengaman saat mengemudi mobil, kita harus berhenti di lampu merah, kita tidak boleh bertelepon saat mengemudi.
Hal yang sangat relevan adalah saat terjadi pandemi seperti sekarang ini, kita harus mengikuti prosedur kesehatan dari pejabat kesehatan masyarakat dan petugas terkait untuk menjaga diri dari paparan Covid-19.
Menghindari/mengurangi
Reaksi melawan berdampak negatif dan bisa merusak hubungan semua pihak. Berikut saya rangkum pandangan dari Elizabeth Dorrance Hall (2019) dan Syon Bhanot (2020) mengenai beberapa cara untuk menghindari Reaksi Melawan.
Pihak yang memberikan perintah perlu membingkai ulang pengalamannya agar tidak lagi menjadi ancaman bagi kebebasan seseorang.
Sebuah studi menunjukkan, dengan menyampaikan pada masyarakat bahwa mereka bebas memutuskan sendiri apa yang baik untuk mereka, setelah diberi tahu dan diminta untuk melakukan perilaku kesehatan tertentu, seperti menggosok gigi atau memakai tabir surya, ternyata dapat mengurangi reaksi melawan (Miller, dkk., 2007; Bessarabova, dkk, 2013).
Penelitian lain menemukan bahwa mendorong empati atau meminta orang yang terancam kebebasannya untuk memahami perspektif orang yang memberi tahu mereka tentang apa yang harus dilakukan, dapat membantu mengurangi reaksi ini (Shen, 2010; Steindl & Jonas, 2012).
Untuk membingkai kepatuhan terhadap aturan yang perlu dijalani, selain pengarahan dari para ahli, pemanfaatan kekuatan sosok beberapa selebritas melalui tampilan dalam media sosial secara menarik dan menyenangkan dapat mengajak masyarakat untuk mematuhi aturan dan mencontohkan perilaku yang tepat, tanpa reaksi melawan.
Pihak otoritas, apakah itu orangtua, guru, pasangan, pejabat ataupun pemerintah, dalam memerintah hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya. Penyampaian dan ucapan yang jujur sangatlah penting, Mereka memicu reaksi melawan melalui ketidakjujuran. Para penerima perintah akan berpikir untuk apa mendengarkan pihak berwenang ketika mereka berbohong kepadanya. Sekaranglah waktunya untuk jujur, tidak peduli seberapa sulit untuk didengar.
Pihak yang menerima perintah juga dapat mencoba memahami bahwa hanya karena seseorang menyarankan sesuatu atau meminta kita untuk melakukan sesuatu, dia belum tentu mencoba mengendalikan kita.
Kita bisa sedikit lebih sadar diri dan memastikan bahwa kita melakukan hal yang benar untuk alasan yang benar. Kita perlu bijaksana mempertimbangkan dan memeriksa diri sendiri sebelum menanggapi suatu perintah, apakah tanggapan kita didasarkan pada logika atau reaksi melawan.
Meskipun sulit untuk didengar dan diterima, kebebasan pribadi dan ilusi hak pilihan perlu dikesampingkan jika kita ingin menyelamatkan jiwa selama pandemi ini.
Dalam menjalani masa pandemi ini, saatnya kita mendengarkan ahli kesehatan masyarakat secara khusus. Bagaimanapun, merekalah penyebab manusia dapat bertahan dari berbagai wabah yang menyebar di masa lalu.
Tak ayal, bagi negara yang menjunjung tinggi gagasan kebebasan, ini adalah perubahan mental yang sulit. Namun, sekarang, mereka yang terbiasa melakukan apa yang mereka inginkan perlu memahami dengan mengutamakan orang lain, dan (sampai batas tertentu) melakukan apa yang diperintahkan.
Salam sehat selalu.