Kita membutuhkan perbaikan interaksi di dunia maya karena jika dibiarkan, hal itu akan memunculkan risiko besar ke depan. Berbagai risiko sudah muncul, mulai dari konflik antarwarga hingga keterbelahan sebagai bangsa.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Semua yang terjadi di dunia maya menjadi cermin bagi dunia nyata. Keadaban digital Indonesia tergolong rendah, di dunia nyata sebenarnya kita bermasalah juga.
Riset tahunan Microsoft mengenai interaksi pengguna internet dengan judul ”Digital Civility Index (DCI)” diumumkan bulan ini. Riset yang berdasarkan survei di 32 negara dengan 16.000 responden pada April-Mei tahun lalu menghasilkan temuan, Indonesia berada di urutan ke-29 dari negara yang disurvei dan skor Indonesia keseluruhan 76.
Faktor yang memperburuk skor DCI Indonesia ialah berita bohong dan penipuan (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), dan diskriminasi (13 persen). Posisi Indonesia hanya lebih baik daripada Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan. Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura, Taiwan, dan Australia.
Riset itu memperlihatkan bagaimana warga di sejumlah negara memperlakukan sesamanya dan mereka saling menjaga kehormatan di dunia maya. Kita harus mengakui, kerusakan interaksi terjadi jauh sebelum kita sempat menata cara-cara berhubungan dengan sesama warganet.
Teknologi digital begitu cepat masuk ke warga dengan pemahaman yang rendah. Teknologi juga masuk sangat masif di berbagai sendi kehidupan tanpa kita sempat memilah-milah keuntungan dan kerugiannya. Industri kebencian berbasis algoritma yang dipakai dalam Pemilu Presiden 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pemilu Presiden 2019 memperparah kerusakan interaksi dunia maya kita.
Kini kita berada di titik terendah dalam interaksi dunia maya. Di negara lain, seperti India, pandemi meningkatkan kualitas interaksi daring dan luring sehingga mereka lebih memperhatikan sesama. Ternyata di Indonesia, tidak berlaku hal yang sama.
Riset itu harus dimaknai sebagai pijakan awal kita memperbaiki keadaan. Jika di dunia nyata kita mempunyai ukuran dalam memperlakukan sesama seperti norma sosial, dengan riset itu ternyata kita juga membutuhkan ukuran yang sama. Kita perlu mengenalkan norma itu di dunia maya.
Kita juga membutuhkan perbaikan interaksi di dunia maya karena jika dibiarkan akan memunculkan risiko besar ke depan. Berbagai risiko sudah muncul, mulai dari konflik antarwarga hingga keterbelahan sebagai bangsa. Jika hal ini diteruskan, konflik dan keterbelahan akan menyedot energi besar kita yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun negeri.
Melihat kultur kita, keteladanan lebih dibutuhkan dibandingkan membuat aturan yang malah kerap dilanggar. Kita memerlukan orang-orang berpengaruh untuk merestorasi dunia maya.
Beberapa ahli menyebutkan cara yang bisa dilakukan, seperti mengurangi kesalahpahaman saat interaksi, mengembangkan perbincangan konstruktif, dan meninggalkan jejak positif. Jika tak mampu, kita sebaiknya belajar kepada anak-anak, yang dalam survei di sejumlah negara menunjukkan interaksi mereka di dunia maya lebih baik.