Kemunculan Clubhouse menjadi fenomena. Mengapa tren obrolan berbasis suara meningkat? Bagaimana model bisnis yang dikembangkan oleh mereka yang membangun platform itu?
Oleh
Andreas Maryoto
·5 menit baca
Clubhouse sejak pekan lalu mengharubiru para penggemar media sosial. Pengguna langsung bikin berbagai grup yang menjadi ruang untuk mengobrol. Benar-benar mengobrol dengan suara. Kita kemudian bertanya, mengapa tren obrolan berbasis suara meningkat? Bagaimana model bisnis yang dikembangkan oleh mereka yang membangun platform itu?
Tren penggunaan suara yang menggantikan teks sebenarnya sudah lama terjadi dan bukan muncul tahun ini saja. Pada 2018, sejumlah pengamat telah menyebutkan perubahan kebiasaan orang dari menyampaikan pesan lewat teks menjadi pesan lewat suara.
Pesan lewat suara memungkinkan pengguna melakukan berbagai kegiatan secara bersamaan seperti mengirim pesan, mengirim surat elektronik, dan berbagai pekerjaan lainnya.
Penulis bernama Pandora Sykes di dalam tulisannya di Sunday Times dengan judul ”The Rise of The Voice Note” mengatakan, pesan suara memungkinkan kita untuk menyampaikan perasaan dan tekanan untuk kalimat tertentu yang selama ini menjadi ciri pembeda dalam perbincangan manusia. Keberadaan ekspresi perasaan dan tekanan tertentu itu hilang dalam obrolan berbasis teks. Obrolan dengan teks sebenarnya adalah dunia yang sepi dan tidak nyaman.
Kolumnis David Pierce dalam tulisannya berjudul ”Phone Calls are Dead, Voice Chatt is The Future” di The Wall Street Journal menyebutkan, salah satu yang unik dari perkembangan pesan berbasis suara adalah awalnya bukan di negara-negara Barat, malah di China.
Platform WeChat menjadi tempat untuk mengobrol yang sangat ramai. Beberapa pengamat mengatakan, warga China masih bisa menoleransi orang berbincang dengan suara keras di area publik dan mereka juga banyak yang mengalami kesulitan untuk menulis teks di gawai.
Akan tetapi, tren ini juga kemudian berkembang di dunia Barat karena pesan suara lebih cepat dibandingkan menelepon. Orang berbicara dua kali lebih cepat dibandingkan menulis. Mereka juga merasa pesan suara terkesan lebih hangat dan lebih ”manusiawi” dibandingkan teks.
Kebiasaan menggunakan teks telah menghilangkan kehangatan dan kemanusiaan. Alasan inilah yang membuat kecenderungan orang kembali ke suara dan ditangkap sejumlah anak muda dengan membuat platform obrolan berbasis suara.
Paltform obrolan berbasis suara sebenarnya sudah muncul beberapa tahun lalu. Whatsapp lahir tahun 2009, namun baru pada 2015 membuka fasilitas panggilan berbasis suara untuk dua akun. Whatsapp sempat membuka model bisnis dengan cara mewajibkan setiap akun membayar 1 dollar AS setelah masa bebas pada tahun pertama. Tahun 2017, mereka membuka layanan untuk akun bisnis bagi perusahaan, terutama untuk layanan konsumen. Mereka membuka layanan suara untuk lebih dari dua akun baru pada 2018.
Pada tahun lalu, Whatsapp membuka layanan obrolan untuk delapan orang. Hingga kemudian muncul pengumuman tentang integrasi data antara Whatsapp dan Facebook yang memunculkan kontroversi sehingga rencana itu ditunda. Integrasi ini kemungkinan merupakan langkah awal pengembangan model bisnis induknya, Facebook Inc. Mereka tengah melakukan uji coba layanan pembayaran dan juga penggunaan mata uang mereka, yaitu libra.
Platfrom lainnya yang bernama Discord telah muncul tahun 2015. Mereka mendapat pendanaan awal sekitar 20 juta dollar AS dan kemudian mendapat pendanaan lanjutan. Awalnya, platform ini dipakai untuk penggemar gim, tetapi pada tahun lalu mereka mengubah audiens dari ”Chat for Gamers” menjadi ”Chat for Communities and Friends”.
Mereka terus berbenah dan menambah fitur. Sasaran audiens pun berubah lagi dan mereka mengusung semboyan ”Your Place to Talk”. Model bisnis yang dikembangkan, antara lain, kustomisasi stiker atau emoji, layanan berbayar dengan tambahan layanan seperti kemampuan untuk mengunggah file, membagikan layar dengan resolusi tinggi, dan akses untuk beberapa gim. Jumlah pengguna terdaftar (registered user) mencapai 250 juta akun.
Pekan lalu, platform Spotify telah mengumumkan kepada para penggunanya bahwa mereka bisa mendapatkan kualitas suara yang lebih bagus. Pengguna ditawari fitur berbayar untuk mendapatkan kualitas audio yang disebuat dengan CD Quality dan kualitas suara yang tidak bakal menghilang. Spotify belum mengumumkan kapan penawaran itu dimulai dan juga harga yang akan ditawarkan. Mereka seperti tengah memberi pengumuman awal.
Tawaran Spotify ini lebih dari sekadar tawaran paket premium ke pasar. Mereka menyebutnya sebagai Premiun Add-on. Di samping itu, mereka juga menawarkan perangkat audio untuk artis dan audio untuk laman e-dagang. Untuk mengenalkan produk berbayar ini, mereka membuat obrolan yang menghadirkan Barack Obama dan Bruce Springsteen.
Akhir tahun lalu, Telegram mengumumkan akan membuka fitur obrolan berbasis suara. Akan tetapi, obrolan ini baru bisa dilakukan di dalam grup saja. Mereka kini juga mulai mengumumkan akan melakukan monetisasi setelah memiliki sekitar 500 juta pengguna. Mereka tidak akan mendapatkan uang dari layanan yang selama ini gratis.
Rencana Telegram memang belum diketahui secara persis, tetapi ada beberapa yang sudah muncul di media, seperti pemberian stiker premium dengan fitur tambahan dan berbagi keuntungan untuk artis-artis yang menggunakan platform itu untuk bisnis. Mereka juga dikabarkan akan memajang iklan di platform. Intinya mereka bakal menjalankan bisnis, tapi tidak akan mengganggu fasilitas yang selama ini dinikmati pengguna.
Clubhouse sangat berbeda dengan yang lain. Mereka sejak awal sudah mengumumkan akan membangun sistem pembayaran untuk keperluan semisal pemberian tips, penjualan tiket, dan biaya berlangganan. Media sosial ini mencitrakan diri menjadi tempat mengobrol, mendengar, dan belajar.
Oleh karena itu, kita bisa menebak model bisnis yang bakal dikembangkan oleh Clubhouse. Setidaknya di tempat ini, banyak konten bermutu sehingga orang mau mengeluarkan uang untuk mendengar dan belajar dari obrolan.