Kota Manaus di Brasil pernah tampak mencapai kekebalan kelompok dari penularan Covid-19. Namun kemudian terjadi lonjakan kasus yang diduga kuat disebabkan oleh mutasi virus SARS-CoV-2.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Bukti-bukti semakin mengemuka, pernah terinfeksi Covid-19 tidak berarti bakal selamanya terbebas dari virus SARS-Cov-2. Kita bisa terinfeksi kembali oleh virus korona ini, terutama oleh varian baru hasil mutasi. Vaksin yang ada pun perlu dimodifikasi, menyesuaikan dengan perkembangan mutasi dari hari ke hari semakin beragam.
Kota Manaus di Brasil menjadi saksi bahwa herd immunity atau kekebalan kawanan secara alami terhadap Covid-19 ternyata sulit tercapai. Pada Maret 2020, kota terbesar di Amazon, yang dihuni 2 juta orang ini, menemukan kasus pertama Covid-19. Prevalensi penyakit ini mencapai puncak pada Mei-Juni 2020.
Pada 11 Agustus 2020, jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 37.597 orang dan 2.051 korban jiwa. Tetapi karena tes terbatas, jumlah kasus Covid-19 sebenarnya diperkirakan lima kali lebih banyak dan kematian dua kali lebih banyak. Kematian berlebih di kota ini dibandingkan tahun-tahun sebelumya mencapai 4,5 kali lipat.
Kasus Manaus menjadi bukti nyata sulitnya mencapai herd immunity alami karena virus yang kita hadapi juga terus bermutasi.
Setelah fase puncak wabah seolah mereda. Jumlah kematian yang semula mencapai 120 kematian per hari, menjadi hampir nol di akhir Agustus 2020. Hingga pada bulan September 2020, dua kelompok peneliti mengunggah hasil riset awal mereka yang menunjukkan bahwa pelambatan penularan dan kematian di Manaus karena sebagian besar populasi telah terpapar virus dan warga menjadi kebal.
Ahli imunologi Ester Sabino dari Universitas São Paulo, Brasil, dan rekannya yang memeriksa antibodi SARS-CoV-2 pada lebih dari 6.000 sampel di bank darah di Manaus menemukan, orang yang terinfeksi di kota ini mencapai 66 persen pada akhir gelombang pertama Juni 2020 dan mencapai 76 persen pada Oktober 2020. Kajian ini akhirnya dipublikasikan di jurnal Science, 2021.
Sabino dan tim menyimpulkan, prosentase penduduk yang telah terinfeksi ini melebihi ambang batas herd immunity, sehingga diperkirakan wabah bakal berakhir sendiri. Penelitian Prowse dari University of Adelaide dan tim juga mencapai kesimpulan serupa (medrxiv.org, 2020).
Namun, kekebalan kawanan alami itu tidak pernah terjadi. Untuk beberapa bulan yang singkat, penularan seolah surut. Penduduk Manaus beraktivitas kembali, protokol kesehatan melonggar, dan pemilihan daerah digelar.
Hingga pada Desember 2020 wabah Covid-19 kembali meningkat di Manaus dan menghebat pada Januari 2021. Rumah sakit kembali penuh dan pemakaman massal dengan satu lubang untuk beberapa jenazah kembali dilakukan.
Bahkan, rata-rata jumlah kematian per hari naik 22 persen dari sebelumnya. Fenomena ini memicu keraguan tentang herd immunity.
Varian baru
Ester Sabino buru-buru merevisi kesimpulan dalam studi sebelumnya. Pada 6 Februari 2021, dia menulis di jurnal The Lancet, perkiraan 76 persen infeksi sebelumnya bisa jadi bias karena itu merupakan proyeksi dari seroprevalensi yang diamati pada Juni 2020.
Kemungkinan lain, menurut Sabino adalah terjadinya reinfeksi karena menurunnya titer antibodi setelah infeksi pertama. Ini dikuatkan studi terhadap pekerja kesehatan di Inggris yang mengalami infeksi ulang SARS-CoV-2 setelah 6 bulan (Lumley dan kawan-kawan dalam New England Journal of Medicine/NEJM, 2020). Masalahnya, di Manaus, sebagian besar infeksi ulang terjadi 7–8 bulan kemudian.
Bagaimanapun, penurunan kekebalan saja tidak mungkin sepenuhnya menjelaskan lonjakan kembali wabah. Karena itu, menurut Sabino, gelombang kedua di Manaus ini sangat mungkin dipicu oleh munculnya varian baru SARS-CoV-2.
Pengurutan genom pada sampel RNA virus dari penduduk Manaus dari akhir Desember mengungkapkan bahwa 42 persen ternyata berasal dari garis keturunan SARS-CoV-2 yang sebelumnya tidak teridentifikasi. Varian baru ini, kemudian dikenal sebagai P.1 alias B.1.1.28.1, sama dengan yang ditemukan pada pelancong Jepang dan dibawa kembali ke Tokyo awal bulan Januari 2021.
Sejauh ini, sedikit informasi yang diketahui tentang transmisibilitas garis keturunan P.1, tetapi yang jelas varian ini memiliki beberapa mutasi yang serupa dengan varian B.1.1.7 dari Inggris dan B.1.325 dari Afrika Selatan. Varian-varian ini memiliki sekitar 20 mutasi, di antaranya 17 perubahan asam amino unik, tiga delesi, dan penyisipan. Dua di antaranya, adalah N501Y dan E484K — mutasi protein paku yang terjadi di domain pengikatan reseptor dan terkait dengan peningkatan transmisibilitas.
Mutasi hampir serupa yang terjadi secara independen di tiga wilayah berbeda ini memberi pertanda, bahwa mutasi tersebut memberi virus ini keuntungan, yang meningkatkan peluangnya untuk bertahan hidup.
Bagaimanapun, kasus Manaus menjadi bukti nyata sulitnya mencapai herd immunity alami karena virus yang kita hadapi juga terus bermutasi. Lalu, bagaimana dengan vaksin, apakah bakal bisa mencipatkan kekebalan kawanan guna mengeradikasi pandemi?
Sejumlah studi menunjukkan, vaksin yang ada sekarang masih "berguna" menghadapi varian baru yang ada. Namun demikian, bukti-bukti terbaru menunjukkan adanya penurunan efektifitasnya.
Maka, masa depan wabah ini akan sangat ditentukan pada seberapa cepat dan besar mutasi virus ini terjadi dan kecepatan kita untuk terus memodifikasi vaksin selain melakukan intervensi epidemiologis guna mengendalikan penularan. Fenomena ini menyerupai dengan vaksin influenza yang harus terus disuntikkan setiap musim karena virusnya terus bermutasi.
Agaknya kita memang harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa SARS-CoV-2 ini bakal menjadi endemis. Dia tidak benar-benar bisa dihilangkan dari kehidupan kita.